DI
RUMAH: Arfi’an Fuadi (kiri) dan M. Arie Kurniawan di markas D-Tech Engineering,
Salatiga. Kakak beradik ini menggarap proyek dari berbagai negara. (M. Salsabyl
Adn)
Arfi
dan Arie, Lulusan SMK yang Ahli Design Engineering Internasional
Laporan
M. Salsabyl Ad’n, Salatiga
05 Agustus 2014 05:20 WIB (JAWA POS,
5 AGUSTUS 2014)
SUASANA ruang tamu di rumah Arfi’an Fuadi, 28, di Jalan Canden,
Salatiga, Jawa Tengah, masih dipenuhi nuansa Idul Fitri. Jajanan Lebaran
seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu yang
berkunjung.
Di sebelah ruang tamu terdapat
ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada tiga unit komputer. Rupanya, di
ruangan kecil itulah Arfi –panggilan Arfi’an Fuadi– bersama sang adik M. Arie
Kurniawan dan dua karyawannya mengeksekusi order design engineering dari
berbagai negara.
Kiprah dua bersaudara itu di dunia
rancang teknik internasional tak perlu diragukan lagi. Tahun lalu Arie
memenangi kompetisi tiga dimensi (3D) design engineering untuk jet
engine bracket (penggantung mesin jet pesawat) yang diselenggarakan General
Electric (GE) Amerika Serikat. Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56
negara.
”Lomba ini membuat alat penggantung
mesin jet seringan mungkin dengan tetap mempertahankan kekuatan angkut mesin
jet seberat 9.500 pon. Saya berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih
menjadi 327 gram saja. Berkurang 84 persen bobotnya,” ungkap Arie ketika
ditemui di rumah kakaknya, Senin (4/8).
Yang membanggakan, Arie mengalahkan
para pakar design engineering yang tingkat pendidikannya jauh di atas
dirinya. Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di
Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang
kini bekerja di Airbus. ”Padahal, saya hanya lulusan SMK Teknik Mekanik
Otomotif,” jelas Arie.
Sekilas memang tak masuk akal.
Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang belum pernah mendapatkan materi
pendidikan CAD (computer aided design) mampu mengalahkan doktor dan
mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat pesawat? CAD adalah program
komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk.
Rupanya, ilmu utak-atik desain
teknik itu diperoleh dan didalami Arie dan kakaknya, Arfi, secara otodidak.
Hampir setiap hari keduanya melakukan berbagai percobaan menggunakan program di
komputernya. Mereka juga belajar dari referensi-referensi yang berserak di
berbagai situs tentang design engineering.
”Terus terang dulu komputer saja
kami tidak punya. Kami harus belajar komputer di rumah saudara. Lama-lama kami
jadi menguasai. Bahkan, para tetangga yang mau beli komputer, sampai kami yang
disuruh ke toko untuk memilihkan,” kenang Arfi.
Sebelum menjadi profesional di
bidang desain teknik, dua putra keluarga A. Sya’roni itu ternyata harus banting
tulang bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga. Arfi yang lulusan SMK
Negeri 7 Semarang pada 2005 pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di
bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling kampung. Sang adik juga tak
jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari truk sampai tukang cuci motor.
”Kami menyadari, penghasilan orang tua kami pas-pasan. Mau tidak mau kami harus
bekerja apa saja asal halal,” tutur Arfi.
Baru pada 2009 Arfi bisa menyalurkan
bakat dan minatnya di bidang program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia
memberanikan diri mendirikan perusahaan di bidang design engineering.
Namanya D-Tech Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut
adalah komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan
gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos Indonesia.
”Gaji saya waktu itu sekitar Rp 700
ribu sebagai penjaga malam kantor pos. Lalu ada sisa uang beasiswa adik dan
dibantu bapak, jadilah saya bisa membeli komputer ini,” kenangnya.
Setelah berdiskusi dengan sang adik,
Arfi pun menetapkan bidang 3D design engineering sebagai fokus garapan
mereka. Sebab, dia yakin bidang itu booming dalam beberapa tahun ke
depan. ”Kami pun langsung belajar secara otodidak aplikasi CAD, perhitungan
material dengan FEA (finite element analysis), dan lain-lain,” jelasnya.
Tak lama kemudian, D-Tech menerima
order pertama. Setelah mencari di situs freelance, mereka mendapat
pesanan desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. Si pengusaha
bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan desain
tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh
menit jadi. Dulu memang lama karena kalau mau download atau kirim e-mail
harus ke warnet dulu. Modem kami dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. Hanya bisa
untuk lihat e-mail.”
Di luar dugaan, garapan D-Tech
menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah
USD 5 dari kesepakatan harga awal. ”Kami sangat senang mendapat apresiasi
seperti itu. Dan itulah yang memotivasi kami untuk terus maju dan berkembang,”
tegas Arfi.
Sejak itu order terus mengalir tak
pernah sepi. Model desain yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi
yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat
penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat.
”Pernah ada yang minta desain mobil
lama GT40 dengan handling yang sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai
harus membongkar komponen mobilnya dan difoto satu-satu untuk kami teliti.
Jadi, kami yang menentukan mesin yang harus dibeli, sasisnya model bagaimana
dan seterusnya. Hasilnya, kata si pemesan, 95 persen mirip,” jelasnya.
Selama lima tahun ini, D-Tech telah
mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu saja hasil finansial yang
diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah orang tuanya serta
membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat
mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga.
”Kami dicurigai memelihara tuyul.
Soalnya, pekerjaannya tidak jelas, hanya di rumah, tapi kok bisa menghasilkan
uang banyak. Mereka tidak tahu pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh,”
cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya, dari 150 proyek itu,
hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. ”Satu-satunya klien Indonesia adalah
dari sebuah perusahaan cat. Mereka beberapa kali memesan desain mesin pencampur
cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang pengalaman dan
diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa
berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK.
”Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami tentu mau.
Tapi, apakah mereka mau? Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali lulusan apa
dan dari universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya berijazah SMK”
ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut
mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik
Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan
itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.
”Saya ingin kuliah di jurusan itu
karena ingin memperdalam ilmu elektro. Kalau mesin saya bisa belajar sendiri.
Tapi, saya ditolak karena kata pihak Undip jurusannya tidak sesuai dengan
ijazah saya. Padahal, lulusan SMA yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima.
Ini kan tidak adil namanya,” cetus Arie.
Meski ditolak, Arie tidak kecewa.
Bersama sang kakak, dia tetap ingin menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama
bangsa. Dan itu telah dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design engineering
di Amerika yang diikuti para ahli dari berbagai negara. Selain itu, mereka
tak segan-segan menularkan ilmunya kepada anak-anak muda agar melek teknologi
3D design engineering.
”Ada beberapa anak SMK yang datang
ke kami untuk belajar. Sekarang ada yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga
yang bakal ikut kompetisi Asian Skills Competition sebagai peserta termuda,”
jelasnya.
Mereka juga punya keinginan
mengembangkan teknologi energi terbarukan. Salah satunya dengan mengembangkan
desain pembangkit listrik tenaga angin. ”Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK
untuk mengembangkan biodiesel dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky Elson
(pembuat mobil listrik yang dibawa Dahlan Iskan dari Jepang, Red) pernah
menghubungi lewat Facebook, ingin menjalin kerja sama dengan kami. Tentu
saja kami terima,” ungkapnya.
Dengan semua upaya itu, mereka punya
satu impian, yakni mengembangkan sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan
kota kecil itu pusat pengembangan manufaktur teknologi kelas dunia. Layaknya
Silicon Valley di San Francisco, Amerika Serikat.
”Kami ingin membuktikan bahwa
Indonesia bisa menjadi pusat industri manufaktur dunia. Terlebih lagi,
teknologi 3D printing bakal menjadi tulang punggung industri masa depan.
Itulah kenapa 3D design engineering sangat penting,” tandasnya.
(*/c9/ari)