By:
Mochamad Zainuddin
Seperti kita ketahui, sejak awal tahun 2014 Pemerintah telah menerapkan aturan mengenai
BPJS Kesehatan, dan mewajibkan seluruh badan usaha dan perorangan untuk ikut
program tersebut. Tidak terasa, sudah kurang lebih 1,5 tahun BPJS Kesehatan
telah berjalan. Kekurangan pelayanan dan fasilitas disana sini masih dapat
dimaklumi, mengingat usianya yang relatif singkat. Pro kontra mejadi hal yang
wajar dinikmati oleh pemerintah atas pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, yang paling
penting adalah komitment dari pemerintah untuk menerapkan System Jaminan Sosial
Nasional kepada warga Negaranya telah mulai diterapkan, walaupun menunggu waktu
sejak tahun 2004 lahirnya Undang-undang SJSN. Komitment tersebut dibuktikan
lagi dengan berlakunya secara efektif BPJS Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Juli
2015, dengan tambahan program jaminan pensiun. Pro kontra pun terjadi mulai
dari terlalu mendesaknya pengeluaran regulasi, hingga sosialisasi yang dirasa
kurang, ditambah dengan aturan kontroversial mengenai Jaminan Hari Tua (JHT),
yang berubah drastis. Jika sebelumnya JHT dapat diambil oleh karyawan yang
resign, ataupun kena PHK dengan masa keja minimal 5 tahun dan masa tunggu 1
bulan, dirubah menjadi dapat diambil minimal dengan masa kerja 10 tahun dan
itupun tidak dapat diambil secara keseluruhan, hanya 10 -30% maksimal dapat
diambil dari dana yang telah dimiliki. Dan sisanya baru dapat diambil saat usia
Pensiun 56 tahun.
Problematika penerapan pelayanan
BPJS Kesehatan yang masih belum baik, masih ditambah dengan persoalan Regulasi
BPJS Ketenagakerjaan yang belum stabil dan tidak dapat diterima secara massif
oleh pekerja memberikan dampak signifikan bagi keberlangsungan hubungan
industrial di perusahaan. Pekerja pada gusar. Dana Jaminan Hari Tua yang biasa
bisa diambil pada saat terjadi PHK ataupun ingin resign untuk wirausaha dengan
kepesertaan 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan tidak bisa lagi diambil. Sekarang pekerja
harus menunggu masa 10 tahun bekerja baru bisa diambil, itupun hanya dapat
diambil 10% nya saja. Entah apa yang menjadi dasar pikir pemerintah
mengeluarkan kebijakan tersebut. Kalo alasanya ingin mengembalikan ke khittah
atau definisi Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan peruntukanya untuk tabungan
hari tua, kenapa sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu (tepatnya tahun 1993)
pemerintah dapat mengeluarkan regulasi mengenai pengambilan JHT dengan masa
kerja 5 tahun. Pastinya pemerintah terdahulu memiliki dasar pertimbangan yang
rasional. Ataukah ada alasan lain dibalik terbitnya PP No. 46 Tahun 2015
tentang Jaminan Hari Tua. Jangan-jangan pemerintah ingin menggunakan dana
pekerja untuk mendanai investasi jangka panjang yang menjadi agenda
pemerintah?. Wallahu a’lam. Namun yang jelas, secara substansi aturan 10% dari
pengambilan JHT karyawan secara ekonomi merugikan pekerja, baik dari besaran
nominal yang diterima maupun untuk peruntukanya jika ingin berwirausaha. Kalo secara matematis, dihitung 10% dari
besaran UMK 10 tahun mendatang, yang dapat diterima pekerja hanya sebesar 1
juta rupiah atau bahkan lebih kecil angka tersebut. Besaran Dana tersebut untuk
waktu 10 tahun mendatang kira-kira bermanfaat untuk apa? Pasti akan mengalami
kesulitan untuk menggunakanya. Disatu sisi, pemerintah secara tidak langsung
mengarahkan kebijakanya terhadap rakyat Indonesia menjadi jiwa jiwa pekerja. Kenapa?
Karena, aturan tersebut telah mereduksi seseorang untuk berhenti bekerja dan
ingin wirausaha dengan memanfaat modal JHTnya.
Artinya arah pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia dimasa
mendatang adalah menjadi orang-orang yang bekerja bukan berwirausaha, mungkin
inilah slogan yang digembor-gemborkan pemerintah saat ini, yakni
Kerja-Kerja-Kerja,,,,,(baca : jadi buruh-buruh- dan buruh) jadi anda semua
dilarang untuk berwirausaha.
Kebijakan lain yang hampir
senada adalah dengan lahirnya Jaminan Pensiun, yang besaranya akan diterima minimal
sebesar 300 rb sampai 3,6 Juta tiap bulan dengan masa iur selama 15 tahun. Artinya
buruh dnegan penghasilan UMK nantinya, setelah menganalisis formulasi
perhitungan yang ditetapkan dalam PP. Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan
Pensiun. Uang pensiun sebesar 300 ribu untuk jangka waktu 15 tahun mendatang
dapat digunakan untuk apa? Mungkin setara dengan nominal uang 10 ribu saat ini,
dan tentunya tidak akan dapat mencukupi pekerja untuk membiayai hidup dimasa
tuanya. Selain persoalan besaran biaya pensiun, regulasi mengenai BPJS
ketenagakerjaan tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan lainya. Beberapa
regulasi yang tidak sinkron tersebut adalah :
1.
Jumlah tanggungan anak, dalam regulasi BPJS
Kesehatan anak yang ditanggung untuk menikmati fasilitas kesehatan adalah
maksimum 3 anak, sedangkan di BPJS Ketenagakerjaan, anak yang menjadi
tanggungan maksimum hanya 2 anak.
2.
Batas atas gaji yang menjadi dasar potongan
iuran. Pada BPJS Kesehatan batas atas Gaji ditetapkan 2 kali PTKP K1, yakni
sebesar Rp. 4.725.000,-. Sedangkan pada BPJS Ketenagakerjaan Batas atas Gaji
Jaminan Pensiun adalah sebesar 7 Juta rupiah. Belum lagi mengenai batas Gaji
JHT, JKK dan JKM yang unlimited.
3.
Usia Pensiun. Pada PP No. 46 tahun 2015 tentang
JHT, disebutkan usia pensiuan adalah 56 tahun. Sedangkan pada PP No. 45 tahun
2015 tentang Jaminan Pensiun, Usia pensiun disebutkan 55 tahun dan akan
mengalami penambahan setiap 3 tahun sekali sejak ditetapkanya PP tersebut sampai
menjadi usia 65 tahun. Artinya satu PP dengan PP lainya juga belum sinkron. Karena
JHT merujuk pada 56 tahun dan tidak ada penambahan usia pensiun, sedangkan
dalam PP Jaminan Pensiun ada penambahan usia pensiun.
4.
Uang
Pesangon. Walupun masih multi interpretative. Aturan mengenai uang pesangon
yang diatur dalam UU ketenagakerjaan pasal 167 ayat 1-3 menyatakan bahwa bila
perusahaan mengikutkan pekerja dalam program pensiun, maka uang pensiun
tersebut diperhitungan sebagai pengurang dari pesangon yang didapatkan. Disisi lain,
jika melihat tafsir historical tentang Jaminan Pensiun pada UU ketengakerjaan adalah
merujuk pada DPLK. Bukan pada Jaminan Pensiun yang diatur oleh PP terbaru. Dikarenakan
lahirnya UU ketenagekerjaan tidak memprediksi lahirnya Peraturan mengenai
Jaminan Pensiun yang telah diatur dalam UU SJSN dan Peraturan Pemerintah.
Selain persoalan sinkronisasi substansi regulasi diatas, persoalan teknis
implementasi juga menjadi sorotan. Seolah program Jaminan Pensiun dipaksakan. Betapa
tidak. Lahirnya paket PP mengenai Jaminan Pensiun adalah satu hari sejak
diundangkan. Yakni pada tanggal 30 Juni 2015, dan berlaku tanggal 1 Juli 2015. Padahal
pemerintah sebetulnya punya waktu yang sangat cukup, sejak tahun 2011
sebagaimana diamanahkan oleh UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Dengan terlalu dekatnya keluarnya PP tersebut dengan pelaksanaanya,
maka sudah dapat dipastikan sosialisasi dan transformasi informasi kepada
seluruh karyawan dan pengusaha minim sekali. Sehingga wajar, jika begitu isi PP
tersebut disampaikan kepada masyarakat terjadi gejolak seperti yang dilansir
oleh banyak media. Secara kesiapan perencanaan
strategis dan budgeting perusahaan pasti akan mengalami shock regulation. Bisa
dibayangkan, dalam system pengelolaan management diperusahaan, pasti hal
tersbut dikategorikan sebagai bad
management. Yang tidak memenuhi unsur
PDCA. Sehingga ujung-ujungnya aturan mengenai JHT dianulir untuk sementara
waktu, dan bekerja dapat mengambil JHT dengan menggunakan aturan yang lama,
bagi mereka yang di PHK sebelum 1 Juli 2015. Hal ini dapat menyebabkan turunya
kewibawaan pemerintah dimata rakyatnya. Seolah olah pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakanya trial and error.
Tidak dilakukan kajian yang mendalam dan melibatkan stakeholder yang tepat.
Pada akhirnya, dengan tulisan ini, semoga
Pemerintah bisa belajar terhadap Pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat
hidup masyarakat luas. Jangan sampai merugikan rakyat banyak, karena
sesungguhnya hakikat jabatan kepemerintahan adalah amanah dari rakyat, untuk
kesejahteraan dan kemakmuranya. Kejelasan visi ini harus senantiasa tertanam
dalam naluri dan setiap tindakan para pengambil kebijakan di negeri ini. Semoga.