Jumat, 24 Juli 2015

Menelaah BPJS Ketenagakerjaan




By: Mochamad Zainuddin


Seperti kita ketahui, sejak awal tahun 2014  Pemerintah telah menerapkan aturan mengenai BPJS Kesehatan, dan mewajibkan seluruh badan usaha dan perorangan untuk ikut program tersebut. Tidak terasa, sudah kurang lebih 1,5 tahun BPJS Kesehatan telah berjalan. Kekurangan pelayanan dan fasilitas disana sini masih dapat dimaklumi, mengingat usianya yang relatif singkat. Pro kontra mejadi hal yang wajar dinikmati oleh pemerintah atas pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, yang paling penting adalah komitment dari pemerintah untuk menerapkan System Jaminan Sosial Nasional kepada warga Negaranya telah mulai diterapkan, walaupun menunggu waktu sejak tahun 2004 lahirnya Undang-undang SJSN. Komitment tersebut dibuktikan lagi dengan berlakunya secara efektif BPJS Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Juli 2015, dengan tambahan program jaminan pensiun. Pro kontra pun terjadi mulai dari terlalu mendesaknya pengeluaran regulasi, hingga sosialisasi yang dirasa kurang, ditambah dengan aturan kontroversial mengenai Jaminan Hari Tua (JHT), yang berubah drastis. Jika sebelumnya JHT dapat diambil oleh karyawan yang resign, ataupun kena PHK dengan masa keja minimal 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan, dirubah menjadi dapat diambil minimal dengan masa kerja 10 tahun dan itupun tidak dapat diambil secara keseluruhan, hanya 10 -30% maksimal dapat diambil dari dana yang telah dimiliki. Dan sisanya baru dapat diambil saat usia Pensiun 56 tahun.
                Problematika penerapan pelayanan BPJS Kesehatan yang masih belum baik, masih ditambah dengan persoalan Regulasi BPJS Ketenagakerjaan yang belum stabil dan tidak dapat diterima secara massif oleh pekerja memberikan dampak signifikan bagi keberlangsungan hubungan industrial di perusahaan. Pekerja pada gusar. Dana Jaminan Hari Tua yang biasa bisa diambil pada saat terjadi PHK ataupun ingin resign untuk wirausaha dengan kepesertaan 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan tidak bisa lagi diambil. Sekarang pekerja harus menunggu masa 10 tahun bekerja baru bisa diambil, itupun hanya dapat diambil 10% nya saja. Entah apa yang menjadi dasar pikir pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Kalo alasanya ingin mengembalikan ke khittah atau definisi Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan peruntukanya untuk tabungan hari tua, kenapa sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu (tepatnya tahun 1993) pemerintah dapat mengeluarkan regulasi mengenai pengambilan JHT dengan masa kerja 5 tahun. Pastinya pemerintah terdahulu memiliki dasar pertimbangan yang rasional. Ataukah ada alasan lain dibalik terbitnya PP No. 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Jangan-jangan pemerintah ingin menggunakan dana pekerja untuk mendanai investasi jangka panjang yang menjadi agenda pemerintah?. Wallahu a’lam. Namun yang jelas, secara substansi aturan 10% dari pengambilan JHT karyawan secara ekonomi merugikan pekerja, baik dari besaran nominal yang diterima maupun untuk peruntukanya jika ingin berwirausaha.  Kalo secara matematis, dihitung 10% dari besaran UMK 10 tahun mendatang, yang dapat diterima pekerja hanya sebesar 1 juta rupiah atau bahkan lebih kecil angka tersebut. Besaran Dana tersebut untuk waktu 10 tahun mendatang kira-kira bermanfaat untuk apa? Pasti akan mengalami kesulitan untuk menggunakanya. Disatu sisi, pemerintah secara tidak langsung mengarahkan kebijakanya terhadap rakyat Indonesia menjadi jiwa jiwa pekerja. Kenapa? Karena, aturan tersebut telah mereduksi seseorang untuk berhenti bekerja dan ingin wirausaha dengan memanfaat modal JHTnya.  Artinya arah pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia dimasa mendatang adalah menjadi orang-orang yang bekerja bukan berwirausaha, mungkin inilah slogan yang digembor-gemborkan pemerintah saat ini, yakni Kerja-Kerja-Kerja,,,,,(baca : jadi buruh-buruh- dan buruh) jadi anda semua dilarang untuk berwirausaha.
                Kebijakan lain yang hampir senada adalah dengan lahirnya Jaminan Pensiun, yang besaranya akan diterima minimal sebesar 300 rb sampai 3,6 Juta tiap bulan dengan masa iur selama 15 tahun. Artinya buruh dnegan penghasilan UMK nantinya, setelah menganalisis formulasi perhitungan yang ditetapkan dalam PP. Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun. Uang pensiun sebesar 300 ribu untuk jangka waktu 15 tahun mendatang dapat digunakan untuk apa? Mungkin setara dengan nominal uang 10 ribu saat ini, dan tentunya tidak akan dapat mencukupi pekerja untuk membiayai hidup dimasa tuanya. Selain persoalan besaran biaya pensiun, regulasi mengenai BPJS ketenagakerjaan tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan lainya. Beberapa regulasi yang tidak sinkron tersebut adalah :
1.       Jumlah tanggungan anak, dalam regulasi BPJS Kesehatan anak yang ditanggung untuk menikmati fasilitas kesehatan adalah maksimum 3 anak, sedangkan di BPJS Ketenagakerjaan, anak yang menjadi tanggungan maksimum hanya 2 anak.
2.       Batas atas gaji yang menjadi dasar potongan iuran. Pada BPJS Kesehatan batas atas Gaji ditetapkan 2 kali PTKP K1, yakni sebesar Rp. 4.725.000,-. Sedangkan pada BPJS Ketenagakerjaan Batas atas Gaji Jaminan Pensiun adalah sebesar 7 Juta rupiah. Belum lagi mengenai batas Gaji JHT, JKK dan JKM yang unlimited.
3.       Usia Pensiun. Pada PP No. 46 tahun 2015 tentang JHT, disebutkan usia pensiuan adalah 56 tahun. Sedangkan pada PP No. 45 tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun, Usia pensiun disebutkan 55 tahun dan akan mengalami penambahan setiap 3 tahun sekali sejak ditetapkanya PP tersebut sampai menjadi usia 65 tahun. Artinya satu PP dengan PP lainya juga belum sinkron. Karena JHT merujuk pada 56 tahun dan tidak ada penambahan usia pensiun, sedangkan dalam PP Jaminan Pensiun ada penambahan usia pensiun.
4.        Uang Pesangon. Walupun masih multi interpretative. Aturan mengenai uang pesangon yang diatur dalam UU ketenagakerjaan pasal 167 ayat 1-3 menyatakan bahwa bila perusahaan mengikutkan pekerja dalam program pensiun, maka uang pensiun tersebut diperhitungan sebagai pengurang dari pesangon yang didapatkan. Disisi lain, jika melihat tafsir historical tentang Jaminan Pensiun pada UU ketengakerjaan adalah merujuk pada DPLK. Bukan pada Jaminan Pensiun yang diatur oleh PP terbaru. Dikarenakan lahirnya UU ketenagekerjaan tidak memprediksi lahirnya Peraturan mengenai Jaminan Pensiun yang telah diatur dalam UU SJSN dan Peraturan Pemerintah.
Selain persoalan sinkronisasi substansi regulasi diatas, persoalan teknis implementasi juga menjadi sorotan. Seolah program Jaminan Pensiun dipaksakan. Betapa tidak. Lahirnya paket PP mengenai Jaminan Pensiun adalah satu hari sejak diundangkan. Yakni pada tanggal 30 Juni 2015, dan berlaku tanggal 1 Juli 2015. Padahal pemerintah sebetulnya punya waktu yang sangat cukup, sejak tahun 2011 sebagaimana diamanahkan oleh UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan terlalu dekatnya keluarnya PP tersebut dengan pelaksanaanya, maka sudah dapat dipastikan sosialisasi dan transformasi informasi kepada seluruh karyawan dan pengusaha minim sekali. Sehingga wajar, jika begitu isi PP tersebut disampaikan kepada masyarakat terjadi gejolak seperti yang dilansir oleh banyak media.  Secara kesiapan perencanaan strategis dan budgeting perusahaan pasti akan mengalami shock regulation.  Bisa dibayangkan, dalam system pengelolaan management diperusahaan, pasti hal tersbut dikategorikan sebagai bad management.  Yang tidak memenuhi unsur PDCA. Sehingga ujung-ujungnya aturan mengenai JHT dianulir untuk sementara waktu, dan bekerja dapat mengambil JHT dengan menggunakan aturan yang lama, bagi mereka yang di PHK sebelum 1 Juli 2015. Hal ini dapat menyebabkan turunya kewibawaan pemerintah dimata rakyatnya. Seolah olah pemerintah dalam mengeluarkan kebijakanya trial and error. Tidak dilakukan kajian yang mendalam dan melibatkan stakeholder yang tepat.
Pada akhirnya, dengan tulisan ini, semoga Pemerintah bisa belajar terhadap Pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Jangan sampai merugikan rakyat banyak, karena sesungguhnya hakikat jabatan kepemerintahan adalah amanah dari rakyat, untuk kesejahteraan dan kemakmuranya. Kejelasan visi ini harus senantiasa tertanam dalam naluri dan setiap tindakan para pengambil kebijakan di negeri ini. Semoga.