Bagi anda atau perusahaan yang mengalami masalah ketenagakerjaan ataupun anda sebagai perorangan dapat sharing atau berdiskusi dengan saya. Kami akan membantu anda atau perusahaan anda untuk memberikan solusi terbaik terhadap masalah ketenagakerjaan yang sedang anda alami baik melalui jalur Litigasi (Hukum) ataupun jalur non litigasi (Mengedepankan musyawarah dan azas kekeluargaan).
untuk lebih bisa membantu anda, silahkan menghubungi saya melalui telpon : +628883517654
Semoga Jasa ini dapat memberikan manfaat yang sebaik baiknya untuk mengatasi persoalan pribadi atau perusahaan anda.
SALAM
Senin, 15 Desember 2014
Senin, 15 September 2014
Memahami Pikiran C E O
by : JosefBatoana
“Keberhasilan perusahaan hingga kini adalah berkat PEOPLE, yaitu
kalian semua yang hadir di sini. PEOPLE sangat penting bagi saya dan bagi
perusahaan ini untuk melangkah lebih jauh ke depan”
INI MERUPAKAN sepenggal kalimat yang disampaikan oleh Bapak Anthony Salim
pada acara kick-off sebuah proyek penting. Dia ucapkan ini setelah
menyalami semua karyawan senior yang hadir, sambil menyampaikan ucapan terima
kasih kepada mereka.
Dan kalimat ini harus dicerna lebih
jauh lagi, dalam kaitan dengan upaya yang berkesinambungan untuk memobilisasi
berbagai potensi yang ada di dalam diri setiap individu karyawan. Karena itu
Jeck Welch juga punya pandangan yang sangat relevan untuk dikedepankan:
“I belief that a
company’s competitive advantage, is its ability to raise the intellectual
Capital of the organization every single day” (Jack Welch)
Suara secara global pun
tidak beda
Di awal tahun ini kami menghadiri
sebuah sesi yang diselenggarakan oleh IBM. Dalam pertemuan tersebut yang
disebut “IBM LeadershipConnect” di Jakarta, dipaparkan Survey Leadership
yang dilakukan oleh IBM Global. Ini merupakan jawaban atas pertanyaan pokok:
What’s on the boss’s mind. Simak top 5 jawaban berikut ini:
- Human Capital (71%)
- Customer Relationship (66%)
- Product/Service Innovation (52%)
- Brands (41%)
- Business Model Innovation (33%)
Dan sudah sejak lama, Bapak Maurits
Lalisang, Chairman PT Unilever Indonesia selalu mengumandangkan pernyataan:
“There are two most
important elements in my Company: People and Brand. If I have to choose only
one, it is PEOPLE, because with great people I can create excellent Brands”
Dan pernyataan oleh Pak Maurits ini,
bisa terlihat dari berbagai inisiatif yang menggaris-bawahi pentingnya PEOPLE.
Sebut saja: Future Leaders Program, Learning & Development, dan
program expatriasi yang menempatkan cukup banyak manager sebagai expatriate
di manca negara, demi mempersiapkan mereka sebagai pemain regional ataupun
global.
Insight seorang CEO yang
menerima peran HR Global
Menarik pula untuk menyelami
pengalaman nyata Les Hayman. Sesudah mengakhiri tugas sebagai CEO SAP Eropa, ME
dan Afrika serta President dan CEO SAP Asia Pacific, dia seharusnya pension.
Tetapi perusahaan malah menawarkan tugas yang berbeda sebagai Head of HR
Worlwide.
Alasan perusahaan sangat sederhana:
mereka melihat Hayman benar-benar menempatkan manusia sebagai elemen penting di
setiap role bisnis yang dia lakukan. Di bawah ini adalah pengalamannya
tentang managing people dan insight tentang bagaimana seharusnya
HR berperan sebagai strategic partner dengan Bisnis.
“Beberapa pelajaran penting yang
seharusnya bisa membantu saya ketika saya menjadi CEO dulu,” kata Hayman, yakni:
- Luangkan waktu lebih banyak untuk menjadikan rekrutmen suatu “Core Competency” di seluruh organisasi. Sering kita mengambil talent dari competitor dengan skill yang serupa untuk posisi yang kosong. Tetapi ini berarti kita melakukan rekrutmen untuk kebutuhan sekarang dan bukannya untuk masa mendatang. Dua hal penting yang dipelajari: (a) Calon dari dalam yang 60% fit mungkin akan lebih baik ketimbang calon dari luar yang nampak 80% fit; (b) dalam banyak kesempatan, attitude calon jauh lebih penting dari skill-nya.
- Banyak orang yang dipaksa promosi, padahal orang-orang itu akan lebih kompeten di profesi mereka pada level sekarang. Walau di level ini prestasi mereka sangat bagus, tetapi belum tentu mereka punya kemampuan managerial untuk bisa memimpin tim pada tingkat yang lebih tinggi. Sering tenaga spesialis yang ingin terus menekuni bidang spesialisasinya, malah dipromosikan ke level lebih tinggi tanpa persiapan yang memadai.
- Tidak ada yang namanya HR Problem. Yang ada adalah business problem yang HR bantu selesaikan. Terkadang pelaku bisnis kurang peduli akan anggota timnya sendiri, tentang pengembangan mereka, karier masa depan mereka, dan lain-lain. Keputusan menyangkut Manusia di unit-unit bisnis adalah keputusan Bisnis.
- Luangkan lebih banyak waktu untuk mereka yang kurang berprestasi. Jangan menunggu sampai prestasi timnya berada di titik terendah baru mengambil langkah. Luangkan waktu untuk bicara, coaching, bantu mereka dalam kesulitan. Kalau karyawan direkrut karena strength mereka, masa mereka dikeluarkan karena weakness mereka tanpa ada usaha untuk memperbaikinya?
- Kurangi formal Performance Review dan lakukan review behavior dari waktu ke waktu sebagai gaya hidup bisnis. Review secara formal, mungkin hanya dua kali setahun. Tapi apakah harus menunggu sampai masa review tiba? Dan ini pun hanya bisa dilakukan kalau management meluangkan waktu untuk itu.
Hayman mengakui bahwa tugas dia di
HR sangat menantang, dan memberikan insight banyak sekali karena dia
pernah bertugas di Bisnis. Tapi dia juga sedikit menyesal, kenapa dia justru
menyadari ini di akhir masa karyanya, dan bukan sebelum dia ditunjuk sebagai
petinggi perusahaan, sebagai CEO!!
Tidak ada istilah terlambat untuk
belajar dan sukses. Dan pengalaman Bill Gate bahkan lebih kontras lagi tentang
keberhasilan dia di kemudian hari dibandingkan rekannya yang sukses di tempat
kuliah, seperti pernyataannya berikut ini:
I failed in some subject in exam, but my friend Passed in All.
Now he is an engineer in Microsoft and I'm the owner of Microsoft"
(Bill Gates)
Mengelola TALENT dg format T E M P O "
Mengelola Talent dengan
Format 4.0
Oleh: Paulus
Bambang WS
Hi Partner,
Sudah lama tidak muncul bukan berarti saya sudah undur diri dari
dunia maya atau dunia ke HRD an. Kesibukan (ini alasan gaya CEOnya) dan
kemalasan (ini alasan sejujurnya) membuat saya “beristirahat” dalam menulis di
rubrik yang saya cintai ini. Setelah bertemu dengan “energizer” saya, yakni
Mbak Meisia dan Mbak Banis, saya termotivasi lagi untuk berbagi ilmu buat
pembaca yang meminati bidang HRD ini walaupun bukan berkarya dalam bidang HRD. Every manager
is HR Manager. Semoga, kemalasan saya kali ini sudah sembuh dan
saya akan menyapa Anda setiap Senin, dua minggu sekali. Salam jumpa lagi.
Perubahan era
Perkembangan teknologi dan demokrasi maya sudah tidak mampu
membendung manusia terkungkung di daerahnya secara fisik dan di pengetahuannya
secara virtual. Teknologi mengubah menusia menjadi terbuka. Dulu yang dianggap
“pribadi dan rahasia” menjadi “terbuka dan transparant”. Manusia sudah biasa
mengungkap perasaan, kegundahan dan suasana hatinya secara ‘real time’ pada
berbagai akun media sosial yang kadang membuat heran banyak orang karena
keterbukaan yang sudah meruntuhkan tembok ruang privat tadi.
Itu adalah fakta. Tak ada yang mampu menghentikan. Dunia sudah
terbuka, tanpa batas. Keunggulan manusia ditentukan dengan kecepatan,
kecermatan dan kesempatan memanfaatkan peluang yang semakin terbuka luas tanpa
batas.
Secara bisnis, kita sudah merasakan konsekuensinya. Pesaing,
Produk dan Jasa, Pelanggan, Pemasok, Karyawan sudah demikian berbeda dengan apa
yang terjadi sepuluh tahun lalu. Perubahan yang cepat dan akan menjadi semakin
cepat, membuat konstelasi bisnis dan hubungan antar pemangku kepentingan
berbeda pula. Ditambah lagi dengan implementasi skema AFTA, CAFTA dan APEC di
beberapa tahun mendatang, gaya perdagangan dan pengelolaan sumber daya menjadi
berubah secara nyata.
Sayangnya, ini kalau kita mau jujur, pengelolaan produksi,
pengembangan produk, pemasaran, keuangan sudah mengikuti perkembangan perubahan
tersebut, malahan pengelolaan sumber daya yang terpenting yakni SDM, khususnya
Talent, sangat tertinggal, atau kalau tidak mau dibilang usang.
Talent di sini saya definisikan sebagai karyawan yang berpotensi
untuk menjadi pimpinan di kemudian hari. Merupakan suatu kumpulan orang dengan
potensi dan pengalaman tertentu yang memberikan nilai lebih pada produk
perusahaan. Ini kelompok khusus yang harus dipersiapkan dan dipelihara secara
teliti karena merupakan ujung tombak kemajuan perusahaan di saat ini maupun
masa mendatang.
Format Pengembangan
Talent
Ada perusahaan masih mengelola Talentnya dengan format
1.0 yakni mengelola SDM dengan meniadakan konsep Talent. Tidak ada ukuran apa
itu Talent apalagi siapa itu Talent. Semua karyawan dianggap sama. Tidak ada
program khusus apalagi kompensasi khusus. Semua dilihat berdasarkan kinerja
tahunan. Tidak ada persiapan untuk mendidik kader mencapai kompetensi tertentu.
Semua diserahkan pada mekanisme ‘lapangan’ untuk memilah mana calon yang
terbaik dan mana yang termasuk golongan ‘tersisa”.
Adapula yang sudah masuk ke pengelolaan Talent
dengan format 2.0. Artinya sudah ada kriteria apa itu ‘talent’ dan sudah
diidentifikasi siapa itu ‘talent’. Namun masih terbatas pada kalangan tertentu,
biasanya kelompok kedua di bawah direksi, dan dilakukan oleh kalangan terbatas
saja, biasanya CEO dan Direktur atau pimpinan SDM. Karena masih bersifat
“rahasia untuk kalangan tertentu”, maka program ini masih bersifat elitis.
Hanya mencatat dan memonitor talent secara pasif dan datanya merupakan kumpulan
dari sejarah masa lalu.
Bagi yang sudah maju, Talent sudah dikelola dengan
format 3.0. Artinya kriteria sudah jelas dan siapa yang menjadi Talent sudah
diidentifikasi dengan cermat oleh pimpinan masing masing unit dan disetujui
oleh pimpinan unit lainnya. Keputusan mengenai siapa yang menjadi Talent sudah
menjadi keputusan bersama para anggota BOD dan sudah diformalkan dalam komite
nominasi talent yang diketuai oleh Presiden Direktur atau CEO perusahaan.
Lebih lanjut lagi, siapapun yang termasuk dalam daftar Talent,
akan mendapat Mentor khusus yang secara berkala memberikan masukan dan usulan
untuk perkembangan Talent menjadi kader pimpinan untuk dua level diatasnya.
Talent sudah dimasukkan dalam “Replacement Table Chart” yang merupakan tabel
calon pengganti pimpinan satu level di atasnya. Setiap Talent bisa menempati
kursi di RTC dua atau lebih posisi. Artinya Talent tidak boleh dimonopoli oleh
departemen atau divisinya, Talent sudah menjadi milik perusahaan yang dapat
dialih tugaskan ke bidang lain sesuai kebutuhan perusahaan.
Ketiga format tadi, dari 1.0 – 3.0, ternyata masih belum cukup
menjawab kebutuhan talent pada saat ini. Dengan keterbukaan informasi dan
kesempatan di perusahaan lain bahkan di negara lain, Talent menjadi semakin
sadar potensi dan kemungkinan perkembangan karirnya. Orang yang berpotensi
sebagai Talent, biasanya memang “high flier” yang melihat langit sebagai
batasan cakrawalanya.
Kungkungan pada tugas rutin dan limitasi tanggung jawab yang
dirasa sebagai birokrasi bukanlah lahan yang subur untuk menumbuhkan
potensinya. Itu sebabnya perusahaan harus memiliki format lain agar Talent yang
berpotensi STAR tidak malahan lari ke tempat lain, sedangkan yang berpotensi
biasa yang akhirnya dianggap sebagai loyalist yang menduduki kursi CEO. Ini
akan membuat prahara perusahaan di kemudian hari. Perusahaan mungkin tidak oleng,
tapi tidak berkembang sebagaimana mestinya kalau dinahkodai oleh kader
berkualitas STAR.
Mengelola dengan
Format 4.0
Format 4,0 adalah jawabannya. Perusahaan
harus mengindentifasi Talent sejak dini, semakin muda semakin baik. Lalu
dikembangkan dengan spartan dengan tugas yang sulit dan menantang. Kenyamanan
Talent adalah mendapat tantangan yang kompleks. Semakin sulit semakin nyaman ia
untuk bermanuver dan berstrategi. Beri mereka kesempatan seluasnya dengan
mentor yang sudah berpengalaman, akan lebih baik kalau sudah setingkat direksi
dan kalau perlu dimentor sendiri oleh CEO bergantung pada kualitas Talentnya.
Keberanian perusahaan mencetak Talent dengan program yang berbeda
dengan karyawan biasa, perlu diuji. Ketika sama rasa sama rata masih ada, maka Talent
yang mumpuni akan pergi karena sudah tidak akan mampu berdampingan dengan
sistem yang dibuat hanya untuk yang berada di tengah.
Pertanyaannya, apa perusahaan kita sudah siap memiliki Talent
dengan format pengelolaan 4,0?
Point untuk direnungkan:
1.
Seberapa pentingkah perusahaan memiliki Talent Management?
2.
Berapa “Size” perusahaan yang pantas memiliki Talent Management?
3.
Bagaimana meminimalkan dampak negatif terhadap Talent ?
TEMPO adalah solusi “Talent” dengan Format 4.0
Talent yang merupakan karyawan dengan potensi khusus harus
dikelola dengan cara yang khusus agar menghasilkan kader dengan karakter dan
kinerja yang khusus pula. Ini memerlukan program yang terencana dan
terintegrasi dengan baik. Bukan hanya membutuhkan modal
finansial tapi modal waktu dan upaya dari CEO sampai ke jajaran manajemen
puncak lainnya. Pengelolaan talent tidak boleh didelegasikan ke orang lain,
apalagi hanya ke bagian SDM yang akan terbentur pada pengelolaan aktivitas dan
administrasi. Kalau CEO tidak mau punya waktu untuk mengelola Talent,
tidak akan pernah terjadi Talent Management yang rapi dan konsisten dalam
pelaksanaannya.
Siklus Talent Management harus solid dan didukung oleh semua
pihak, saya menyebutnya dengan siklus TEMPO yaitu :
1. Talent
Identification
2. Environment
Readiness
3. Mentoring
System
4. Pilot
Testing Field
5. Opportunity
to try new things
Talent Identification
Langkah ini merupakan langkah awal yang sangat strategis sekaligus
kritis. Apa yang menjadi kriteria seorang karyawan diangkat menjadi talent?
Metoda apa yang dipakai untuk mengukur kualitas calon sesuai dengan kriteria
yang dipakai? Metoda pengamatan langsung, assessment psikologis, diskusi antar
pimpinan? Bagaimana menvalidasi bahwa nilai-nilai dalam setiap kriteria adalah
nilai yang sahih?
Bagi penganut akademik, tentunya langkah identifikasi ini akan
dimulai dengan serangkaian survey atau diskusi untuk menemukan kriteria seorang
talent yang dianggap tepat. Bisa dilakukan dengan analisa data yang kompleks
atau didekati dengan pendekatan pragmatis, sebagai langkah awal, berdiskusi
dengan BOD sebagai badan tertinggi. Seorang yang pernah duduk di kursi CEO akan
tahu bagaimana menjadi CEO yang paling baik.
Kuncinya adalah adanya kesamaan pendapat antar pemimpin tertinggi
dalam perusahaan tentang apa yang pantas dimiliki oleh seorang talent adalah
‘talent criteria’ yang paling baik saat ini. Kriteria ini bisa terus diperbaiki
dan dikembangkan lebih lanjut pada masanya. Jangan terlalu sederhana dan jangan
terlalu kompleks. Pengalaman saya dengan 5-10 kriteria
sudah lebih dari cukup. Yang terpenting, kriteria yang mudah dipahami dan mudah
dievaluasi tanpa perangkat test yang terlalu kompleks.
Environment Readiness
Selain penyiapan siapa talent yang ada dalam perusahaan, harus
disiapkan pula lingkungan kerja yang siap menerima kehadiran talent yang akan
diprogram untuk dipercepat perkembangan potensinya. Banyak perusahaan
yang sudah terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk merekrut calon yang
potensial baik dari dalam atau dari luar, tapi ternyata calon tersebut tidak berkembang
atau memilih keluar karena ternyata lingkungan tidak siap dan tidak disiapkan
untuk menerima kehadiran seorang talent dengan gaya yang berbeda dengan yang
biasa.
Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa seorang talent yang
benar benar mumpuni akan mampu mengubah lingkungannya. Tanpa dipersiapkan, ia
akan mempu mengatasinya dan muncul sebagai talent yang baik. Pendapat ini,
menurut saya, tidak seluruhnya benar. Banyak talent yang tidak mau membuang
waktu merubah lingkungan yang tidak bersahabat munculnya STAR, lebih baik ia
bergabung dengan perusahaan lain yang memang memiliki lingkungan yang sangat
bersahabat dengan tumbuhnya STAR.
Saya berpendapat menyiapkan lingkungan yang kohesif buat
talent merupakan pertanda bahwa manajemen di perusahaan itu solid dan memiliki
perencanaan yang baik. Lingkungan yang disiapkan akan mempercepat terbentuknya budaya
kinerja tinggi yang dibutuhkan.
Mentoring System
Setelah calon diidentifikasi lalu lingkungan disiapkan dengan
cermat, ada hal penting lain yang harus disiapkan agar talent benar benar
berkembang dengan cepat yakni Mentor.
Mentor bertugas untuk membantu talent dalam merumuskan langkah
strategis serta mendukung talent dalam memetakan dan menguraikan masalah
operasional sehingga ia dapat membuat keputusan dengan lebih bijak. Tugas
Mentor bukan membantu talent membuat keputusan, ini bukan mentoring yang baik.
Mentor harus banyak bertanya sehingga talent menemukan
sendiri jawabannya melalui serangkaian jawaban yang dijawabnya sendiri dan
menemukan pemikiran lain yang mungkin selama ini kurang diperhatikan.
‘Expanding horizon’ adalah tugas yang mentor harus lakukan agar talent melihat
wawasan lain yang lebih luas.
Pilot Testing Field
Setelah dimentor, langkah yang paling penting untuk menguji apakah
talent benar benar memiliki kualitas STAR adalah dengan mengujinya di tempat
yang sulit, kompleks dan penuh ke tidak pastian. Keberanian CEO untuk
menempatkan talent di tempat yang susah adalah keberanian yang akan membuahkan
hasil yang bagus.
Misalnya, talent yang bagus diminta untuk menjadi
pimpinan perusahaan yang sedang terkena masalah industrial relations yang pelik
terkait hubungan manajemen dan serikat pekerja yang kurang harmonis.
Ini untuk menguji kemampuan talent untuk mengelola konflik dan kemampuan emosionalnya
bernegosiasi dengan pihak lain.
Semakin tinggi proyeksi promosi talent, semakin sulit dan kompleks
pilot test yang harus dijalani si talent. Ketika talent berhasil di beberapa
fungsi, atau perusahaan lain dalam kelompok usaha yang sama, maka akan semakin
menambah keyakinan di talent dan CEO bahwa ia merupakan kader yang potensial.
Opportunity to try new
things
Kalau di fase pilot test masih merupakan inisiatif
perusahaan dan pimpinan, di fase ini talent diberi kesempatan untuk memikirkan
hal baru, memilih project baru, melahirkan konsep baru sesuai dengan pilihannya
di area yang dia pilih. Ini untuk menguji seberapa jauh kemampuan talent untuk
mewujudkan mimpinya dengan implementasi ide terobosannya.
Kalau kelima siklus ini dijalankan dengan cermat dibarengi dengan
komitmen tinggi CEO, maka program pengembangan talent tidak hanya menjadi macan kertas yang hanya bagus di konsep tapi ompong di
implementasinya. Itu sebabnya TEMPO harus dikomandoi oleh CEO sendiri,
karena dia yang paling tahu siapa yang bisa menggantikannya dengan kualitas
yang lebih bagus dari dirinya bukan ?
Point untuk direnungkan:
1.
Apakah perusahaan Anda sudah memiliki Talent Mangement?
2.
Kalau sudah, di point berapa yang sering menjadi masalah dalam
cycle TEMPO ini?
3.
Apa pengalaman Anda dalam mengembangkan konsep ini?
Talent Identification – Big Surprise
Kalau mau jujur, sering kita dikagetkan oleh fakta di lapangan
bahwa apa yang terpikir di benak sangat berbeda dengan yang kita lihat beberapa
tahun kemudian di lapangan.
Misalnya ada karyawan yang kita anggap biasa saja atau ‘just above
average’ sehingga tidak masuk ‘talent’ ternyata ketika ia pindah ke tempat
lain mampu menembus batas tembok posisi dan menduduki kursi CEO. Atau
lebih mengagetkan lagi, karyawan yang dengan berat hati harus kita ‘minta
mengundurkan diri karena masalah kinerja atau karakter’, ternyata lima tahun
kemudian menjadi salah satu pelanggan besar karena sukses sebagai pengusaha.
Ini satu ‘big surprise’ yang tidak nyaman bagi kita yang masih ada di
lingkungan perusahaan.
Kalau yang keluar dari perusahaan adalah ‘talent’ entah karena
iming-iming gaji, fasilitas atau promosi jabatan di tempat lain dan ternyata
lima tahun kemudian jadi ‘orang’ di sana, kita tidak akan terkejut karena itu
sesuai dengan keyakinan kita bahwa ia adalah ‘talent’ yang baik. Tidak membuat
‘surprise’ walaupun tetap kecewa kenapa kita tidak mampu me’retain’ dan me
‘maintain’ ‘talent’ yang berpotensi jadi ‘top executives’ ini.
Kita akan mengalami ‘Big Surprise’ karena tidak menduga bahwa
karyawan yang tidak masuk dalam kategori ‘talent’ ternyata mampu menjadi CEO
atau ‘top executive’ di perusahaan lain yang kadang lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan kita. Lalu, dengan teliti kita melakukan
evaluasi di dalam – ‘Apa yang salah dengan ‘talent identification’ kita ?
Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, saya menyimpulkan
setidaknya ada lima ‘kekeliruan’ yang kita lakukan sehingga tidak bisa melihat
‘talent’ :
Pertama, perusahaan tidak memiliki
kriteria yang jelas dengan apa yang disebut talent. Bahkan sering kabur antara
potensi, kompetensi dan kinerja. Banyak CEO yang melihat karyawan berdasarkan
hasil penilaian karya tahunan. Dan berdasarkan hasil penilaian kinerja tersebut
dikelompokkan menjadi ‘talent’ dan ‘non talent. Ini kesalahan mendasar yang
masih terjadi dalam debat antar CEO antara kinerja dan kompetensi, kompetensi
dan potensi serta kinerja dan potensi. Ini sering menimbulkan ‘kesalahan
fatal’. Seseorang yang tidak berkinerja baik pada
suatu kurun waktu tertentu dan untuk suatu gugus tugas tertentu belum tentu
bukan orang yang berpotensi ketika diberikan tugas di tempat lain. Ini saya
sebut sebagai “Criteria Error”
Kedua, penilaian ‘talent’ dilakukan
hanya oleh atasan langsung dengan faktor subjektivitas personal yang amat
tinggi. Kecenderungan orang menilai berdasar dirinya sendiri sangat besar. Ini
yang menyebabkan terjadinya bias. Karyawan yang tidak ‘disenangi’ atasan
langsungnya karena berbeda ‘karakter’ akan mendapat penilaian potensi lebih
rendah dibandingkan dengan karyawan dengan karakter sama dan disenangi atasan.
Seharusnya atasan yang baik harus mempu membedakan antara potensi, kompetensi
seseorang dengan hubungan baik atau relasi dengan dirinya. Tapi banyak kali,
atasan yang tidak mendapat bimbingan yang cukup untuk mengidentifikasi calon,
terkena bias ini. Ini saya sebut sebagai ‘human error.’
Ketiga, ada pula kemungkinan terjadi
pada ‘pool of talent’ artinya di suatu divisi banyak terdapat ‘potential
talent’. Namun karena keharusan penerapan ‘normal curve’ dalam penilaian
kinerja menyebabkan kinerja relatif harus ada yang mendapat istimewa, baik
sekali dan harus ada yang dikorbankan menjadi biasa saja. Ketika kalkulasi
matriks potensi/kompetensi dan kinerja dipasangkan, maka karyawan tersebut yang
terkena ‘forced normal distribution’ agar terdegradasi menjadi karyawan di atas
rata rata saja. Ini saya sebut sebagai “mathematical
error.”
Keempat, banyak terjadi salah ‘placement’
baik yang dikarenakan salah pilih posisi oleh calon sendiri dan salah
penempatan oleh pimpinan. Ketika terjadi ‘mismatch’ ini akan mempengaruhi baik
kinerja calon maupun peningkatan potensi calon. Salah tempat membuat mutiara
terkubur dan banyak kali tidak mampu di ‘unleash’ lagi. Ini yang menyebabkan
kita terkejut, ketika calon yang salah tempat ini pindah perusahaan dan menjadi
‘bintang’ di perusahaan baru di jabatan baru. Ini saya sebut sebagai “placement error.”
Kelima,
salah identifikasi juga terjadi pada calon yang ‘eksentrik’ atau ‘intovert’ –
dua ciri yang berbeda jauh. Acap kali yang terlalu urakan, nyentrik, tidak bisa
diatur dan eksentrik dikategorikan sebagai ‘problem employee’ bukannya sebagai
‘potential breakthrougher.’ Apalagi ditambah dengan karakter petinggi SDM dan
atasan langsung yang tergolong manusia ‘risk averter,’ maka orang yang di luar
pakem sering tidak ditangkap memiliki daya lebih.
Kasus yang terkenal soal Bill Gates yang memang sangat ekstentrik
sehingga karyanya ditolak IBM yang membuatnya harus melahirkan karyanya
sendiri. Microsoft tidak akan terjadi kalau petinggi IBM tersebut melihat
potensi Bill dan merekrutnya sebagai programmer andalannya. Kasus yang sama
menimpa Steve Jobs, karena eksentriknya sampai ‘tidak dirangkul’ dengan baik
oleh Atari tapi merangkul dan dirangkul dengan baik oleh Wozniak yang membuat
Apple Computer lahir. Ini saya sebut sebagai ‘Perception Error.’
Kelima kesalahan itu menyebabkan banyak perusahaan yang ‘salah’
dan ‘keliru’ melihat ‘talent’ yang sebenarnya bertaburan di perusahaannya.
Apalagi kalau ditambah dengan CEO yang sama sekali tidak ‘CARE’ soal ini.
Identifikasi hanya menjadi ritual tahunan yang menyebalkan. Kalau sudah begini,
kesalahan identifikasi menjadi sangat besar.
Untuk direnungkan :
1.
Seberapa banyak Anda sudah pernah melakukan ‘kekeliruan’ dalam
menilai karyawan? Yang Anda kira ‘talent’ ternyata cuman ‘jago kandang’
sedangkan yang dikira ‘medioker’ ternyata jadi ‘star’ di perusahaan pesaing?
2.
Dari kelima kesalahan itu, mana yang secara korporat terjadi di
perusahaan Anda? Bagaimana Anda memperbaiki kesalahan ini di kemudian hari?
3.
Seberapa jauh pengaruh komitmen CEO terhadap kesalahan
identifikasi semacam ini?
Talent Identification – Big Shock
Padanan ‘Big Surprise’ adalah ‘Big Shock’ artinya yang kita kira Talent
kelas ‘star’ atau ‘kelas nomor satu,’ ternyata setelah diuji di lapangan
kinerjanya biasa saja. Atau calon kader yang ‘sangat mumpuni’ dan ‘kelas wahid’
ternyata setelah jadi jendral kecil, sudah mulai menunjukkan karakter yang
‘sok’ dan ‘merasa paling pinter dan dibutuhkan’ sehingga akhirnya digergaji
bawahannya alias terjungkal karena kejumawaannya sendiri.
Kejadian tersebut banyak terjadi. ‘Big Shock’ terjadi karena kita
‘over estimate’ terhadap potensi calon atau calon ‘over estimate’ terhadap kemampuannya
sendiri. Banyak yang gagal karena memang kapasitasnya sampai pada ‘level of
incompetence’ setelah menapaki tangga tertentu tapi 65% atau dua pertiganya
‘gagal’ karena soal ‘karakter.’ Ini yang paling menyedihkan. Baru mencapai
titik puncak kecil sudah terpaksa dilengserkan karena sudah berperilaku seperti
CEO besar.
Berikut ini, ada lima alasan terjadinya ‘big shock’ yang perlu
disikapi dan disiasati dengan baik sehingga prosentasi kegagalan di perusahaan
Anda tidak besar karena belajar kesalahan dari orang lain.
Pertama, calon
yang berpotensi memilih tidak menjadi orang nomor satu dan memilih jadi warga
biasa saja dengan berbagai alasan pribadi (Calling Barrier)
Tini, nama samaran, yang pernah saya identifikasi bisa menjadi
salah satu potensial CEO atau setidaknya ‘leader’ untuk business unit.
Tahun pertama, dilaluinya dengan apik dan saya masih yakin bahwa ia memang
punya potensi menjadi pemimpin bisnis di masa mendatang. Setelah berjalannya
waktu, setidaknya lima tahun kemudian, ternyata Tini sangat ‘enjoy’ dengan
posisinya sebagai ‘the first lady’ alias orang kedua atau bagian ‘supporting
function’. Akibatnya, pengembangan yang sudah direncanakan harus diubah arah
karena Tini memilih jadi orang lain. Dia tidak begitu yakin mampu menjadi orang
nomor satu. Dia bahagia menjadi orang nomor dua dan tiga, ini yang membuat dia
memilih meniti jalur ini. Ini alasan pertama mengapa sering kader lini
potensial menjadi kader fungsi karena yang bersangkutan dengan kesadarannya
sendiri, memilih untuk tidak menjadi orang nomor satu dengan berbagai alasan
pribadinya.
Kedua, calon
yang sudah ‘cukup’ sukses di tingkat menengah, gagal karena ‘karakter’nya.
Artinya setelah jadi ‘jawara di tengah’ sudah merasa ‘indispensable’ akibatnya
jatuh karena ‘arogansi’ bukan karena ‘kompetensi’ (Character Barier).
Tono, terbilang manusia yang memiliki kompetensi khusus di bidang
rekayasa. Sangat ahli dan menjadi satu-satunya yang diandalkan di
perusahaannya. Begitu uniknya, sehingga ia merasa ia adalah manusia yang paling
tahu di bidangnya. Bukan hanya bawahannya, atasannya pun sering ‘dilibas’ atau
di ‘bypass’ atau ‘disepelekan,’ karena ia menganggap dirnya paling tahu.
Akibatnya, ia terjungkal oleh ulahnya sendiri.
Ketiga, calon
menunjukkan kehebatannya pada lima sampai sepuluh tahun pertama sehingga terus
di ‘stretch’ untuk naik ke atas dengan program percepatan posisi dan pangkat,
ternyata setelah sampai level tertentu ia seperti sudah kehilangan arah.
Kinerja dan kompetensi menjadi plateau, sepertinya ia berada pada ‘level of
incompetence’ (Competencies Barrier).
Bagi banyak ahli, ini disebabkan oleh program percepatan yang
terlalu dipaksakan padahal secara natural calon belum siap untuk menduduki
posisi tertentu atau mengerjakan tugas dengan kompetensi tertentu. Mengembangkan
orang harus melihat faktor kemampuan serap otak dan watak juga, kalau
tidak calon yang bagus bisa kehabisan napas di tengah jalan dan akhirnya
divonis tidak mampu.
Masih banyak lagi alasan mengapa terjadinya ‘big shock’, tentu ini
yang harus dipelajari dengan baik agar sewaktu identifikasi calon sudah
dipertimbangkan soal Calling, Character dan
Competencies. Semakin tajam menggali 3C ini akan semakin sukses program
pengembangannya. Ini yang akan kita bahas selanjutnya, mengidentifikasi
Calon Kader dengan teknik 3C : Calling, Character and Competencies.
Talent Identification – Calling
Banyak cara untuk mengidentifikasi ‘talent’ atau calon pimpinan
yang dianggap potensial. Mulai dari cara ‘beyond
natural’ seperti ‘datangnya wangsit saat memandang calon sambil berdoa,
ada yang cara ‘behind natural’ seperti yang
diyakini oleh beberapa tertentu menyangkut ‘bentuk wajah’ dengan segala
modifikasinya atau ‘tanggal kelahiran’ dengan segala perniknya. Sampai pada
cara identifikasi yang lebih ‘natural’ yakni dengan melihat perkembangan
kinerja serta pengalaman di lapangan sampai teknik mutakhir semacam ‘assessment centre’.
Saya tidak ahli pada dua cara pertama, tapi memiliki sedikit
pengalaman menerapkan cara ketiga yakni menggunakan teknik natural dengan
pendekatan ‘catatan pengalaman’ serta diperkuat
dengan ‘assessment centre’.
Saya memilahnya menjadi tiga aspek utama yang harus dinilai untuk
menentukan ‘talent’ di masa mendatang yakni Calling, Character dan
Competencies.
Pertama, aspek Calling.
Dalam bahasa sederhana adalah ‘keyakinan seseorang akan
panggilan hidupnya sesuai dengan apa yang diyakininya secara emotional maupun
spiritual’. Ada yang sudah sangat jelas dari permulaan dan ada pula yang
menjadi semakin jelas dengan berjalannya waktu.
Mengingat ‘talent’ bukanlah karyawan biasa dan sembarangan
melainkan kader yang disiapkan untuk menjadi pimpinan di masa mendatang,
penggalian akan aspek pertama ini harus terus dilakukan. Kalau ditemukan suatu
keyakinan yang akan berimplikasi negatif terhadap karirnya, pemimpin bisa
membimbing agar ‘talent’ bisa menemukan callingnya secara lebih tajam.
‘Calling’ ini berevolusi dan seirama degan hikmat, kebijaksanaan dan pengalaman
yang bersangkutan. Itu sebabnya rekam jejaknya perlu diikuti secara kontinyu.
Ada tiga aspek utama untuk mendeteksi secara dini ‘calling’
seseorang’ yakni Value, Mission dan Vision hidupnya.
Pertama, Value bersumber dari pertanyaan dasar “What values do you believe in life (especially in business
life) that you won’t compromise?” Ini menggali nilai hidup apa
yang dimiliki dan diyakini talent tersebut dalam menjalani hidup ini yang tidak
mau dikompromikan.
Misalnya :
1.
Saya percaya bahwa keyakinan di agama saya harus dipraktekan di
dunia kerja dan saya tidak akan berkompromi dengan peraturan yang saya anggap
tidak sesuai dengan agama saya. Lebih baik saya keluar bila dipaksa untuk
mengikuti peraturan perusahaan (Spiritual values)
2.
Saya tidak mau menyuap apapun bentuknya termasuk melakukan
pembukuan ganda karena itu melanggar prinsip kejujuran yang saya ikuti. Kalau
pekerjaan saya memaksa saya melakukan hal itu, saya tidak akan mengikutinya
(Moral values)
3.
Iman dan kebenaran di atas kebahagiaan dan uang. Jadi nilai sukses
saya tidak ditentukan oleh uang tapi ditentukan oleh kebenaran yang saya
lakukan sehari-hari (Success values)
4.
Prinsip bisnis yang saya yakini adalah hutang harus dibayar, yang
berhutang menjadi budak yang menghutanginya itu sebabnya janganlah mudah
berhutang untuk sekedar mempercepat laju pertumbuhan perusahaan (micro management
values)
Kedua, misi hidup seorang talent harus terus digali, tidak secara
sesaat tapi suatu continous effort. Misi adalah menjawab pertanyaan “Why does he or she exist?” Ini untuk mengetahui
seberapa jauh pemahaman talent akan misi kehidupannya dan relasinya dengan
Tuhan Penciptanya. Semakin talent mengenal misinya, semakin mudah buat talent
mengenal misi perusahaan dan mampu membawa misi perusahaan menjadi aksi yang
dikerjakan sehari-hari. Semakin talent tidak menghiraukan misi hidupnya talent
juga akan menganggap enteng soal misi perusahaan. Calon demikian menganggap
misi perusahaan hanya sekedar tulisan tak berarti yang dibuat oleh HRD hanya
untuk simbol dan sekedar ada saja. Sebagai calon leader
misi individu dan misi organisasi harus sangat aligned. Kalau ada
ketimpangan maka perjalanan perusahaan juga akan timpang.
Misalnya :
1.
Misi hidup saya adalah menciptakan lapangan kerja bagi negara
tercinta, itu sebabnya saya akan bekerja keras agar lapangan kerja semakin
terbuka dan dengan demikian mengurangi kejahatan di kemudian hari
2.
Memberikan kontribusi terbaik sesuai talenta saya di bidang
rekayasa untuk menciptakan produk yang bermanfaat bagi manusia
Ketiga, visi seorang talent haruslah kuat.
Ini menjawab pertanyaan dasar “What do you want to be?”
Ini adalah tujuan jangka panjang calon dan melihat bagaimana dia berupaya untuk
mencapai visinya.
Misalnya:
1.
Saya akan menjadi pengusaha setelah lengkap belajar sebagai
professional
2.
Saya ingin menjadi CEO di perusahaan nasional yang besar, itu
sebabnya saya belajar di MNC dalam karir awal saya
3.
Saya ingin menjadi spesialis di bidang IT untuk menciptakan
support system yang diperlukan di perusahaan ini.
Pendalaman akan calling
ini harus digali dari hati ke hati, tidak sekedar dengan pertanyaan
dangkal seperti “Apa yang Anda pikirkan nilai yang Anda yakini, atau apa yang
menjadi misi hidup Anda atau apa yang menjadi visi hidup Anda 10 tahun ke
depan?” atau pertanyaan klise semacam “10 tahun lagi Anda ingin menjadi apa dan
kira-kira mampu menduduki posisi mana dalam organisasi kita?”
Pendalaman akan calling harus digali dari kehidupan masa lalu dan
sekarang semasa dia kuliah, bekerja dan melakukan aktivitas non kurikulernya.
Aktivitas non akademik akan lebih tepat menggambarkan visi hidup yang
bersangkutan. Apa yang dikerjakan dalam kegiatan ekstra kurikuler itu mampu
memberi gambaran yang lebih jelas tentang visi hidup yang bersangkutan termasuk
di dalamnya tujuan dan prinsip hidupnya.
Penggalian juga bisa dilakukan terhadap keluarga inti terutama
ayah, ibu dan sanak saudaranya. Gambaran aktivitas mereka dalam kehidupan lain
selain ‘pekerjaan formal’ akan memberi petunjuk ‘bibit’ dari keluarga terhadap
value dan prinsip hidup yang akhirnya akan memudahkan kita untuk melihat aspek
‘calling’ ini.
Lihatlah karyanya di blog, twitter, facebook dan berbagai media
social networking lainnya. Pendalaman akan hal ini akan lebih gamblang
menunjukkan siapa dia sebenarnya dan apa Value, mission dan vision nya.
Celotehan di media luar lebih cepat dan cermat menangkap tulisan hati
dibandingkan dengan tulisannya di lembar assessment. Sayangnya banyak
perusahaan yang tidak memperhatikan hal ini malahan ada beberapa yang tidak mau
tahu apa yang dilakukan calon di media social dan aktivitas sosial di luar jam
kerjanya. Ini yang sangat berbahaya. Sekali lagi talent bukanlah karyawan
sembarangan harus dipilih dengan ekstra hati-hati, dan memerlukan team SDM yang
cukup kuat dan tidak sekedarnya dalam mengumpulkan bahan informasi si calon.
Berdasarkan pengalaman saya ada empat tipe talent yg bisa
dihubungkan dengan aspek Calling ini yakni:
1.
Talent yang sudah jelas Callingnya sejak awal dan hanya mau
berkarir di jalur yang menjadi panggilan atau keyakinannya. Talent jenis ini
sudah tahu apa yg dia mau bahkan sampai pada karir puncak yang dia ingin tuju.
2.
Talent yang sudah tahu apa yang dia mau tapi sangat fleksible
dengan penempatan jalur karir yang dibutuhkan perusahaan. Dia rela mengorbankan
idealisme pada jangka pendek namun akan tetap berupaya mencapai callingnya di
masa mendatang.
3.
Talent yang tidak tahu apa yang dia mau, tapi mau mendengarkan
pendapat orang tentang Calling yang menurut orang lain patut ia tekuni.
4.
Talent yang tidak tahu apa yang dia mau dan tidak mau tahu akan
Callingnya. Baginya hidup mengalir saja tanpa perlu direncanakan. Ia berprinsip
kerjakan yang terbaik hari ini dan selanjutnya Caling akan datang dengan
sendirinya.
Bila ‘calling’ ini secara tajam bisa diidentifikasi lalu
dikembangkan menjadi calling yang positif sesuai dengan kebutuhan pribadi dan
organisasi maka calling yang kuat akan memunculkan Charisma dari talent. Orang
yang ber-charisma selalu memiliki aspek calling yang kuat selain character dan
competencies. Character memunculkan orang baik,
competencies memunculkan orang pintar tapi calling memunculkan orang bijak dan
ber’charisma.’
Talent Identification – Character
Ketika ditanya apa jaminan terbaik bagi sebuah bank, JP Morgan
menjawab dengan tegas “Karakter.” Ketika ditanya apa yang membuat politisi
terkenal seperti Abraham Lincoln terkenal, analis politik menjawabnya dengan
cepat ”Karakter.” Apa yang membuat Frank Sinatra mampu bertahan dalam
popularitas sampai usia senja, pengamat musik menjawab dengan cermat
“Karakter.” Lalu apa yang membuat seorang pemimpin dicintai kolega, atasan dan
bawahannya, saya menjawabnya dengan mudah ‘Karakter.”
Karakter yang mendasari budaya organisasi bukan dicerminkan oleh
untaian kata yang indah dalam piagam ‘falsafah perusahaan.’ Bukan pula
oleh serangkaian budaya kerja yang tertulis rapi dalam buku panduan ‘My Company Way.’ Bukan pula oleh program pelatihan
yang rapi dari ‘training/learning centre’ yang sistimatis dari petinggi sampai
karyawan terendah. Tapi lebih disebabkan oleh karakter dan kepribadian yang ada
di hati pemimpin, mulai dari yang tertinggi sampai menengah yang memiliki
pengaruh kuat di bawahan masing-masing.
Budaya kerja tingkat perusahaan akan sangat dipengaruhi oleh
karakter dan kepribadian pemimpin tertingginya, entah itu CEO, Presiden
Direktur, Chairman atau pemimpin umum. Satu orang yang sangat menentukan gaya
kepemimpinan di bawahnya. Itu sebabnya memilih pimpinan tertinggi untuk suatu
organisasi bukan hanya memilih orang yang mampu menghasilkan kinerja finansial
yang terbaik tapi juga tanpa sadar kita memilih pribadi yang menorehkan warisan
budaya yang jauh lebih sulit dilakukan koreksi bila ternyata budaya yang
diwariskannya adalah budaya yang negatif.
Pemimpin yang berhati koruptif akan membuat sistim yang korup.
Akibatnya korupsi menjadi standard. Korupsi menjadi budaya. Yang berintegritas
tinggi dan pemimpin yang bersih menjadi ekseptional, terkecualikan. Sekali
sistim yang jelek sudah menjadi budaya, tidak mudah membongkarnya kembali. Ada
resiko yang harus ditanggung oleh seluruh unsur organisasi. Dan itu akan
berakibat sangat mahal.
Itu sebabnya, memilih pemimpin tidaklah semudah memilih barang dan
jasa yang baik. Yang mudah dibedakan satu dengan lain dengan spesifikasi dan
kinerjanya. Memilih pemimpin yang adalah manusia tidak hanya melihat latar
belakang pengalaman yang positif dengan kemampuan menyelesaikan masalah
operasional yang dramatis, tapi memilih manusia yang berhati baik yang bisa
menjadi pemimpin yang baik. Manusia yang baik, dengan segala kriteria yang
sangat subyektif, adalah akar segala hal untuk menjadi pemimpin yang baik yang
menghasilkan gaya kepemimpinan dan budaya kepemimpinan yang baik pula.
Itu sebabnya, untuk memilih pemimpin tertingi dalam sebuah
organisasi, karakter adalah faktor utama selain kompetensi dan kinerja.
Kompetensi dan Kinerja bisa dihasilkan dari sinergi pemimpin lain di bawahnya,
tapi karakter lebih sulit disinergikan. Pemimpin yang berkarakter buruk sulit
diseimbangkan dengan lima pemimpin lain di bawahnya yang berkarakter baik.
Karakter pemimpin tertinggi pada akhirnya yang mewarnai seluruh budaya organisasi
di bawahnya. Karakter pemimpin cabang di daerah akan mewarnai budaya perusahaan
lokal yang ada di daerah tersebut. Karakter pemimpin di bagian pembukuan akan
mewarnai bagaimana pembukuan itu dibuat, untuk siapa dengan tingkat kewajaran
yang bagaimana.
Karakter bersumber dari hati, sumber yang paling dalam
dan hakiki dari masing-masing individu. Karakter dibentuk oleh
lingkungan sejak anak sampai dewasa. Tidak ada manusia yang diciptakan Tuhan
dengan karakter jelek, semua diciptakan dalam kondisi karakter yang terbaik dan
unik. Masing-masing dengan kebaikannya yang tak dapat direplikasikan oleh orang
lain. Dalam perkembangannya, benih karakter yang baik ini bisa berubah menjadi
tidak baik atau sangat baik bergantung kepada lingkungan yang mempengaruhi.
Lingkungan yang baik, jujur, tulus, berdisiplin, menghormati rakyat kecil akan
membuahkan pribadi dengan karakter yang baik pula. Apa yang diserap semasa muda
dan semasa ia belum menduduki kursi nomor satu, akan terpatri dalam hati
masing-masing individu. Sewaktu ia naik menduduki kursi pertama maka ia akan
menunjukkan kondisi karakter yang sesungguhnya.
Character is a choice. Character is perfectly educated will.
Pertanyaan pertama yang sering dilontarkan sekarang, kalau kita
identifikasi karakter talent, apakah karakter itu suatu ‘gift’ alias ‘dari
sononya’ atau merupakan suatu hal yang bisa dikembangkan?
Saya penganut karakter ini, soft character
atau professional character, ini sebagai suatu
hal yang bisa dikembangkan. Itu sebabnya banyak program tentang
Character Development. Kalau tidak mungkin dikembangkan tidak akan ada program
pengembangan karakter. Justru karena potensi untuk dikembangkan sangat besar,
maka identifikasi benih karakter ini harus dilakukan sejak awal untuk
dikembangkan secara maksimal.
“When a man found the mirror, he began to lose his soul. The fact
is, he became more concerned with his image than with himself”
Ketika seseorang timbul kesadaran diri akan adanya hukum
resiprokal dan hukum tabur tuai, maka ia akan senantiasa waspada dan akan
mengembangkan suatu karakter yang bukan hanya baik bagi dirinya sendiri tapi
baik bagi orang lain. Ketika ia memberikan hati bagi orang lain, maka lambat
laun seluruh manusia yang diberi hatinya akan memberi hatinya kepadanya. Satu
hati akan diganjar dengan beribu hati.
Demikian juga dalam pengelolaan perusahaan, pemimpin yang menutup
pintu hatinya bagi manusia lain akan mendapat balasan setimpal, ia tidak
mendapat penghormatan sebagai manusia yang bermartabat tetapi hanya sebagai
manusia yang memberi materi.
Itu sebabnya, memilih karakter mana yang akan dikembangkan adalah
pilihan yang senantiasa harus dilakukan. Ini bukan persoalan sekali memilih
tapi sepanjang hidup harus terus-menerus memilih. Setiap pagi harus terus
memilih. Lama kelamaan, pilihan yang konsisten dan berkesinambungan akan
membuat karakter yang dipilihnya menjadi satu dengan dirinya. Ia akan
berkembang sesuai dengan pilihan karakternya dan karakternya menjadi idenditas
diri. Karakter telah menjadi ’the way of being.’
Pertanyaan kedua yang juga sering menghantui banyak orang adalah:
Mengapa banyak orang yang berubah sikap ketika menduduki kursi nomor satu
padahal selama ia menduduki kursi nomor dua ia berperilaku lain?
“Hampir semua orang dapat bertahan dalam kesulitan;
untuk menguji seseorang, berikan padanya kekuasaan.”
Abraham Lincoln
Banyak orang terperanjat tatkala rekan yang dikenal sejak kecil
mendadak jadi “berubah” ketika sudah duduk di kursi pimpinan tertinggi suatu
organisasi. Berubah dalam arti sikap, perilaku, kebiasaan sampai tatacara
protokoler yang tidak biasa dilakukan.
“Padahal,” celetuk yang lain, “Ketika ia masih jadi orang nomor
dua, ia masih seperti kawan yang kita kenal dulu. Pola pikir dan sikapnya masih
bersahaja.” Komentar macam begini sudah sering kita dengar. Bahkan sangat
sering kita lihat tatkala seseorang dipromosi menjadi orang nomor satu,
mendadak sontak ia memperlihatkan sosok dirinya yang berbeda dengan yang selama
ini ia perlihatkan ketika menjadi orang kedua, ketiga atau urutan berikutnya.
Kursi nomor satu, dalam arti harafiah adalah pimpinan tertinggi
dari unit organisasi, hampir selalu membuat perubahan mendasar bagi orang yang
mendudukinya. Secara profesi, ini adalah titik perubahan dari ikut bertanggung
jawab dan bertanggung gugat menjadi bertanggung jawab dan bertanggung gugat
sepenuhnya. Secara psikologis, ia berubah menjadi tuan, boss, bapak dan yang
paling dituakan di organisasi yang harus selalu mengambil keputusan akhir atau
paling tidak bertanggung jawab akhir terhadap keseluruhan tugas organisasi yang
dipimpinnya.
Kursi nomor satu ini yang sering saya sebut sebagai ‘kursi
perubahan.’ Begitu duduk, seseorang akan dituntut untuk berubah. Dari bertanya
menjadi menjawab. Dari menunjuk kesalahan menjadi ditunjuk kesalahan. Setiap
kalimat harus dipikirkan dengan seksama. Tidak dapat sekadar asal komentar atau
‘saya kan hanya bertanya.’ Yang dikatakan, entah ia sungguh-sungguh berkata
atau hanya menjual ide, dijadikan ‘sabda pandita ratu’ bagi teman diskusi yang
kebetulan disebut karyawan.
Hampir selalu orang yang duduk di kursi ini akan mengalami
perubahan. Ini karena tuntutan posisi dan kedagingan ketika berada di tampuk
kekuasaan. Yang berubah negatif, mendadak keluarnya ’peringai asli’ dan
’pribadi asli’ yang selama ini terpendam rapi sampai pada orang kedua. Itu
berarti dapat ’dormant’ selama puluhan tahun. Ketika kesempatan itu muncul,
sifat asli akan muncul. Di kursi perubahan, semua yang tak pernah terduga akan
muncul atau dimunculkan.
Perubahan ke arah positiflah yang dinanti orang. Artinya ia
berubah dan perubahan itu membawa suasana baru yang amat segar. Suasana yang
amat berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Dari kondisi tertekan menjadi
bebas. Dari tak jelas arah yang mau ditempuh menjadi tujuan yang sangat jelas,
terarah dan mampu menggairahkan seluruh komponen organisasi.
Perubahan ini setidaknya disebabkan oleh lima perubahan mendasar
yang dilakukan oleh pemangku jabatan ketika duduk di kursi panas alias kursi
nomor satu (POWER).
Pertama, Purpose of the Leader (P).
Kalau maksud dan tujuan menjadi pimpinan adalah meraih kekuasaan (Power)
semata, maka runtuhlah seluruh aspek kepemimpinan (leadership) yang akan ia
praktekkan. Perubahan negatif yang akan terjadi. Sebaliknya kalau tujuan
menjadi pimpinan adalah untuk mewujudkan cita-cita besarnya menyejahterakaan
yang dipimpinnya, maka kekuasan adalah alat untuk mewujudkan tujuan.
Pemimpin membutuhkan ‘power to make the difference’ bukan sebaliknya.
Kalau yang terjadi sebaliknya maka muncullah sindrom ‘power tends
to corrupt, absolute power corrupt abosultely.’ Maka, perubahan
positif yang akan muncul.
Kedua, Objective of the Leader (O).
Sasaran atau target seorang menjadi pimpinan menunjukkan kualitas
’purpose’ dalam angka metriks yang dapat dirasakan seluruh komponen organisasi.
Bukan sekadar ‘melanjutkan pendahulu saya,’ kalimat sopan yang hanya baik untuk
suguhan di pidato sambutan. Sasaran dan target baru yang menantang yang membawa
‘new horizon’
inilah yang dinantikan oleh seluruh pemangku kepentingan. Objective
yang mampu meningkatkan daya saing pada tingkat, next target, next level and next
landscape akan membawa suasana segar. Ini akan memunculkan
perubahan positif yang berdampak pada ‘excitement’ di semua tingkatan.
Ketiga, Wisdom (W) sebagai kemampuan pembeda di atas ketrampilan,
pengetahuan dan pengertian.
Kapabilitas ini yang sangat diharapkan oleh yang dipimpin.
Akumulasi dari pengalaman dan pendalaman dari berbagai situasi yang sudah
dilakoninya. Kemampuan menyinergikan hand, head dan heart. Mampu membaca situasi lingkungan
dan kecenderungan dari data yang tidak terlihat.
Keempat, Empower the team (E).
Pemimpin yang memiliki wisdom akan mampu memberdayakan kekuatan seluruh
perangkat organisasi. Tak heran Woodrow Wilson, mantan presiden Amerika pernah berujar
bahwa ia tak hanya mau menggunakan otaknya tapi semua otak yang dapat
dipinjamnya. Itu bukan berarti ia kurang pintar, tapi ia adalah sangat pintar
karena mampu menggunakan kepintarannya untuk menggunakan pintarnya seluruh team
pendukungnya.
Bahkan menurut rekan saya, Mr Pongki, begitu saya sering
berseloroh, keberanian memberi kesempatan pada karyawan ini adalah bukti dari ‘open mind
spirit.’ Makin berani memberi ‘empower’ maka ‘power’ dirinya semakin besar. Itu yang dicetuskan
Henry Ford dengan kata bijaknya: ”Rahasia kesuksesan seorang pemimpin adalah kemampuan mendapatkan
sudut pandang orang lain dan melihat segalanya dari sudut pandangnya, selain
dari sudut pandang dirinya sendiri.”
Kelima, Return as a Score Card (R).
Inilah ukuran sejati. Kalau tujuannya menyejahteraan rakyat,
sasarannya memangkas angka kemiskinan, didukung wisdom dan keberanian
memberikan kesempatan karyawan untuk mengolah ide dan melaksanakan, maka ukuran
sejati adalah seberapa besar rakyat makin sejahtera. Bukan pooling
popularitas kepemimpinan yang semakin naik atau turun atau dipilihnya kembali
dalam pemilihan pemimpin yang kedua, ketiga atau seterusnya.
Terpilihnya kembali kadang bukan disebabkan karena kinerja
kepemimpinan tapi kepentingan kepemimpinan. Karena ada kepentingan lain, maka
ia tetap dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin macam beginilah yang akan membebani
organisasi untuk maju. Apalagi kalau pemimpin yang duduk di kursi
perubahan itu karena ia memiliki kartu ’truf’ yang menyebabkan pimpinan di atasnya tidak
mungkin memilih yang lain. Ia adalah pemimpin yang berada di power point
karena power.
Ini adalah kepemimpinan gaya preman dengan truf di tangan yang tak terlihat oleh karyawannya.
Sebaliknya kalau POWER point ini dicapai karena ia memang dibutuhkan
oleh organisasi bukan oleh kepopuleran populis semata, maka ia berani menantang
kursi itu karena bukan kursi pimpinan lah yang menjadi tujuannya tapi kursi itu
dibutuhkan untuk mewujudkan mimpinya membawa perbedaan yang tak terlihat oleh
orang lain. Ini yang disebut sebagai ’to aspire leadership is a great ambition.’
Tabel: contoh beberapa karakteristik dan perilaku yang ditampilkan
Menurut hemat saya, setidaknya ada 6 basic karakteristik yang
membentuk seorang Leader yang harus dikembangkan sejak calon tersebut
diidentifikasi sebagai Talent. Saya menyebutnya sebagai karakteristik bintang
atau STAR CHARACTER.
Terdiri dari dua gugus segitiga (triangle) yang membentuk bintang
segi enam yang pada titik tengahnya memunculkan perilaku dan karakter tertentu
yang akhirnya menjadi ‘brand’ orang tersebut.
Segitiga pertama saya sebut sebagai gugus karakter ke dalam
(INSIDE INGREDIENTS) yang terdiri dari 3 unsur dasar yang sangat penting untuk
seorang menjadi talent yang akan dikembangkan menjadi Leader yang luar biasa.
Pertama : Trustworthy (Dapat Dipercaya). Ini adalah unsur pertama
yang harus ada kalau seseorang akan dijadikan talent. Tanpa ini kelima karakter
berikutnya tak ada gunanya. Unsur ini akan membentuk perilaku seperti
integritas, kejujuran, memegang janji, mengerti amanah, bekerja tanpa pamrih
dan berjuang untuk kepentingan di luar kepentingannya sendiri. Ini adalah
pedang tajam yang berada di hati talent yang akan mmisahkan dirinya dengan
lingkungan dan proses yang tidak sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Orang
yang dapat dipercaya biasanya tidak berkompromi terhadap unsur yang membuat
kepercayaan hancur. Orang yg dapat dipercaya anti korupsi.
Kedua : Humility (Kerendahan hati). Ini bagaikan perisai yang efektif ketika
sedang mengayun pedang trustworthy, tetap harus menjaga posisi diri tetap
‘eling lan waspada’, sadar bahwa kita bukan apa apa, kita hanyalah alatNya.
Kerendahan hati membuat seorang talent akan diterima dilingkungan dimanapun ia
berada. Kerndahan hati artinya tidak menuntut lebih dan tidak merasa
tersinggung ketika diperlakukan tidak seperti yang seharusnya. Talent yg rendah
hati akan mudah membaur dengan kalangan atas dan kalangan bawah.
Ketiga : Opennes (Keterbukaan). Ini adalah unsur kedalam
yang bagaikan ‘glue’ yang mengikat ‘trustworthy’ dan ‘humility’ menjadi semakin
efektif dirasakan orang sekitar yakni terbuka untuk pendapat orang, terbuka
menerima perbedaan, terbuka hati untuk mendengar termasuk didalamnya terbuka
mengatakan apa yang ia rasakan. Keterbukaan ini membuat ia banyak mendapat ide
baru yang segar karena hati yang selalu siap untuk belajar dari orang lain.
Selain ketiga INSIDE INGREDIENTS (Gambar 1) tapi ada tiga
unsur berikutnya dari segitiga kedua yang saya sebut sebagai “OUTSIDE FORCES”
(Gambar 2) yang merupakan benih karakter yang berfokus terhadap apa yang
ditunjukkan untuk orang lain, fokusnya keluar bukan kedalam.
Pertama, Courage (Keberanian). Ini adalah benih keluar yang sangat penting untuk
seorang calon leader. Ini akan membentuk perilaku Confident. Berani bertanggung
jawab atas perilakunya sendiri dan perbuatan anak buahnya. Keberanian mengambil
keputusan yang sulit yang akan mempertaruhkan posisinya. Keberanian mengambil
langkah berbeda dengan pakem yang ada untuk kepentingan terobosan walaupun
hasilnya belum tentu akan sesuai dengan ekpektasinya.
Kedua, Creativity (Kreativitas). Karakteristik ini sangat penting bagi calon
leader mengingat persaingan semakin ketat dan kondisi tak terduga semakin
sering terjadi. Tanpa bibit ini, ia adalah manusia yang bergerak sesuai dengan
SOP yang ada tanpa mampu mengubahnya sesuai dengan kondisi yang ada. Benih ini
akan melahirkan inovasi dalam karyanya baik di produk, jasa maupun pendekatan
bisnis yang berbeda dengan lainnya.
Ketiga, Compassionate (Bela Rasa). Perekat antara Courage dan Creativity adalah
Compassionate. Bela Rasa, welas asih yang membuat Keberanian dan Kretivitas
ditujukan untuk kepentingan orang lain dan dilakukan dengan selalu berpikir
‘put ourselves in someone else shoes”. Sangat perhatian terhadap orang lain,
menghormati tanpa menghalanginya untuk melakukan terobosan yang berani.
Kalau kedua segitiga itu digabungkan, akan menjadi bintang (STAR
CHARACTER), yang seimbang antara INSIDE dan OUTSIDE, bertumpu pada kekuatan
diri untuk menjangkau orang lain khususnya bawahan dikemudian hari.
Keenam benih ini akan terus berkembang dan pada setiap saat, akan
muncul perilaku yang merupakan gabungan dari benih ini. Misalnya muncul
perilaku marah marah kepada bawahan tanpa alasan yang jelas, artinya saat itu
OUTSIDE FORCES Courage muncul demikian kuat sehingga mematikan ke 5 benih
lainnya. Akibatnya ia muncul sebagai orang yang beringas irrasional karena
tekanan sakit hati yang kuat yang mematikan 5 benih lainnya. Adakalanya hal itu
terjadi, tapi secara normal dan dalam keadaan wajar, maka perilaku yang terjadi
adalah gabungan yang seimbang dari ke enam benih tersebut. Semakin kuat benih
itu ada di talent, akan semakin cepat ia berkembang dalam kepribadianya yang
apik.
Pertanyaannya, bagaimana mengukur atau menilai ke 6 benih ini ada
di talent yang sedang atau akan kita kembangkan?
Talent Identification – Competencies
Setelah talent dipisahkan berdasarkan Calling dan Character-nya,
bagian ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah Competencies. Ini mencakup
yang sudah pernah dikerjakan dan dibuktikan hasilnya maupun potensi terpendam
yang dimiliki oleh si calon talent yang belum dapat dieksploitasi karena
keterbatasan exposure dalam pekerjaannya saat ini.
Ada tiga Competencies yang penting bagi seorang talent yang akan
jadi seorang Leader perusahaan di kemudian hari yakni:
1. Technical Competencies: Mencakup
kemampuan dan ketrampilan teknis yang dimiliki talent sesuai dengan bidang ilmu
dan bidang pekerjaan yang digelutinya misalnya bidang financial, marketing,
production, manufacturing, engineering, information technology, legal,
accounting dsb
2. Business
Competencies: Mencakup kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki talent dalam
memahami aspek bisnis secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya pengetahuan yang
memadukan cross functional competencies serta industry knowledge. Pemahaman
akan bisnis secara holistic akan membuat talent semakin mudah dikembangkan
menjadi CEO dibandingkan talent yang sangat menguasai aspek teknis tanpa
menghiraukan aspek bisnis.
3. People
Competence: Mencakup
kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki talent dalam mengelola bawahan, kolega
dan atasan. Pengelolaan bawahan dimulai dari rekrutmen, pengembangan sampai
retrechment. Pengelolaan kolega mencakup team work dan synergy cross
functional. Mengelola atasan termasuk bagaimana menjadi a good follower.
Dari pengalaman yang saya peroleh selama ini, technical competence
merupakan kompetensi yang paling mudah dikembangkan dan dipoles. Secara
langsung dengan penugasan di berbagai proyek atau fungsi yang berbeda dalam
satu perusahaan atau tidak langsung dengan penugasan di gugus team untuk proyek
tertentu dengan jangka waktu tertentu (lihat tulisan saya di gugus team).
Karena kemudahannya, maka percepatan kompetensi di bidang ini boleh dikatakan
gampang dicapai.
Bagi perusahaan, pelatihan dan pengembangan technical competencies
ini bisa dilakukan dengan pelatihan di kelas dan lapangan dalam bentuk in class
training, workshop ataupun benchmarking. Semakin bersifat “Core Competencies”,
artinya menjadi ‘rahasia” perusahaan pelatihannya harus bersifat in house,
sedangkan technical competencies yang bersifat general bisa dilakukan out
house.
Aspek business competencies lebih sulit dilatih dan dikembangkan
bila perusahaan berhenti tumbuh atau talent hanya ada di satu perusahaan saja.
Ini keuntungan konglomerasi karena talent bisa di expose ke berbagai industri
yang akan memperdalam pemahaman talent terhadap industrinya. Ketika satu
perusahaan memiliki value chain dari hulu ke hilir, maka pengembangan talent
untuk memperdalam industri ini menjadi lebih lengkap dibandingkan perusahaan
yang sangat kuat di hilir atau hulu saja.
Kesulitannya adalah aspek ini tidak bisa dilatih dengan metoda
pelatihan seperti technical competencies. Ini harus dilakukan dengan on the job
dan project base yang dibarengi dengan para COACH. Atasan berfungsi sebagai
coach untuk memandu talent mengerti business secara keseluruhan. Peran atasan
ini sangat penting dan strategis untuk mempercepat internalisasi kompetensi
ini.
Aspek people competencies adalah paling sulit.
Secara pengetahuan bisa dilakukan dengan training seperti managing people,
situational leadership, negotiation skill, coaching and counselling technique,
targetted selection dan berbagai modul pengambangan SDM yang sudah banyak
berada di pasar pelatihan. Namun pengetahuan ini hanya
akan berhenti setelah pelatihan bila atasan tidak memonitor secara ketat agar
ada perubahan yang terjadi di level aktivitas sehari hari.
Aspek ini harus dikembangkan oleh masing masing talent terhadap
bawahan, kolega dan atasannya sendiri secara daily. Atasan atau mentor harus
berfungsi sebagai “Bapak” alias Parenting leadership.
Membimbing talent secara bapak-anak untuk transfer kemampuannya sendiri serta
memberi feedback bagi talent ketika ada masalah soal people management ini.
Secara detail, lihat tabel di bawah ini.
Dari pengalaman saya, ada beberapa hal yang perlu dijadikan
catatan dalam menilai seorang talent berdasarkan ketiga aspek dalam
Competencies ini :
1.
Seseorang akan mudah diklasifikasikan sebagai talent, ketika
technical competencies-nya menonjol. Ini adalah anak tangga pertama yang
membuat seorang karyawan bersinar di lingkungannya sehingga diangkat menjadi
talent.
2.
Talent yang hanya kuat pada technical competencies tanpa mampu
beradaptasi dengan industry-nya akan berhenti sampai level tengah. Dia akan
menjadi semi spesialis dan bukan generalis.
3.
Talent yang tidak memiliki people competencies akan terhuyung
huyung untuk naik keatas. Ini adalah competencies yang paling kritikal kalau
perusahaan ingin mencari calon CEO yang membuat perusahaannya adalah perusahaan
yang ‘others try to emulate’.
Pertanyaannya:
1.
Di perusahaan Anda competencies mana yang paling dihargai untuk
menjadikan seseorang menjadi talent?
2.
Apa cara yang dilakukan untuk mengembangkan competencies tersebut?
3.
Sampai sejauh mana CEO Anda terlibat dalam pengembangan
competencies ini?
Talent Identification – 3C Summary
Kesimpulan yang bisa kita dapatkan dengan menggunakan metoda 3C
dalam mengidentifikasi talent adalah bahwa seorang Talent harus memiliki
Calling yang kuat, Character yang baik dan Competencies yang prima. Calling
akan membuat mereka siap Sacrifice (Siap Berkorban), Character akan mendorong
mereka untuk terus bersikap Sincere (Tulus) dan Competencies akan
mempertajam kecerdikan mereka dalam menghadapi kehidupan ini (Smartness).
Sacrifice,
Sincerity and Smartness adalah bentuk pengejawantahan dari Calling, Character dan Competencies
mereka.
Pada Prakteknya, identifikasi yang paling mudah dilakukan adalah
aspek Competencies, yang akan menunjukkan Smartness seorang calon. Ini sangat
mudah dievaluasi dan dibandingkan seseorang dengan orang lain dengan ‘yard stick’ yang sama. Bisa diukur secara lebih
objektif siapa yang lebih berkompeten. Dapat dilihat hasilnya dengan key
performance indicator yang terukur, siapa yang paling banyak memberikan
kontribusinya.
Itu sebabnya banyak yang terjebak dengan hal ini. Kompetensi dianggap sega-galanya. Orang pinter yang
menonjol dianggap talent. Hasil training yang istimewa dianggap berpotensi
sebagai talent. Dalam diskusi kelompok maupun debat, orang yang smart selalu
mendominasi pembicaraan. Orang yang pinter berpidato dan mempesona bagai
motivator dan inspirator sering mempesona evaluator. Sehingga banyak orang
terperosok dengan salah satu faktor ini. Padahal ini adalah salah faktor saja.
Ini yang harus diperhatikan dengan seksama.
Smartness juga sering diidentifikasikan dengan kepandaian
intelektual biasa, padahal kecerdikan dan kepintaran adalah dua hal berbeda. Cerdik tidak selalu menonjol dalam hal intelektual tapi mampu
menyiasati dengan cara yang kreatif. Itu sebabnya sering dilambangkan
dengan si kancil yang cerdik ataupun si ular yang cerdik. Si kancil memperdaya
serigala atau singa yang akan memangsanya dan si ular memperdaya Adam dan Hawa
memakan buah terlarang.
Aspek kedua yang sedikit lebih sulit adalah soal Character.
Sincerity yang ditunjukkan oleh Character memerlukan pendalaman yang lebih
intensif karena bukan hanya dari sikap luar tapi termasuk motivasi yang ada di
dalam. Tulus seperti merpati begitu kata orang bijak menunjukkan sesuatu
pribadi yang bekerja tanpa pamrih, tidak ada hidden agenda, apa yang dikata
sama dengan yang dipikir dan tidak mendua hati. Ini memerlukan interaksi secara
kontinyu. Identifikasi ini perlu melibatkan atasan langsung, kolega atau peer
yang pernah bekerja secara bersama dan tentunya anak buah. Apalagi kalau
identifikasinya setelah melewati beberapa siklus krisis manajemen, akan lebih
mudah diidentifikasi kemurnian characternya.
Setelah dipromosi, apakah karakternya berubah? Setelah mendapat
kekuasaan, apakah karakternya berubah? Setelah mendapat kekayaan, apakah
karakternya berubah? Setelah menjadi ‘inner circle” dari pemimpin puncak,
apakah dia berubah? Ujian posisi, kekayaan dan kekuasaan adalah ujian tersahih
untuk menguji hati seseorang.
Aspek ketiga yang paling sulit diidentifikasi adalah aspek Calling
karena Sacrifice yang menunjukkan bukti nyata dari calling ini merupakan hal
yang paling dalam dalam hati manusia. Pengorbanan yang tulus, lebih memilih
pada purpose dibandingkan posisi, lebih memilih pada nilai-nilai (values)
dibandingkan pada kekayaan (numbers). Ini sangat berhubungan dengan keyakinan
talent pada Tuhan yang maha Esa.
Kalau talent hanya takut pada Shareholder maka
ia berkorban sedikit, selalu berhitung ‘take and give’. Kalau talent senantiasa
memikirkan Stakeholder
maka ia mulai berpikir holistik untuk kepentingan seluruh pemangkunya.
Sedangkan kalau ia berpikir bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua
pekerjaan dan hidupnya pada Soulholder maka ia akan bertindak hati-hati dan
siap berkorban apa saja karena tahu ‘God is the ultimate Boss.’
Kalau identifikasi yang kita lakukan tepat -harus dilakukan secara
konsisten dengan komitmen tinggi dan berkesinambungan – maka akan dengan mudah
kita mengembangkan si talent menuju puncak. Tidak mudah tetapi bukan tidak
mungkin.
Pertanyaan untuk direnungkan :
1.
Sampai seberapa kuat komitmen Anda mengevaluasi talent dengan 3C
ini ?
2.
Siapa saja yang dilibatkan dalam evaluasi ini ?
3.
Seberapa sering evaluasi ini dilakukan ?
Environment Readiness – Lingkungan Kerja
Setelah beberapa edisi kita membahas aspek (Talent Identification)
dari TEMPO sebagai basis Talent Management, sekarang kita masuk ke aspek kedua
yakni Environment Readiness. Saya mendifinisikannya sebagai “Kesiapan
lingkungan Kerja dan Keluarga dan komunitas (3K) untuk menjadi lahan yang subur
bagi talent untuk tumbuh dan berkembang dengan cepat.”
Dengan definisi tersebut ada tiga hal yang harus diperhatikan agar
talent bisa berkembang menjadi STAR di kemudian hari yakni:
1.
Lingkungan Kerja : dari kebijakan tingkat atas sampai
implementasinya di tingkat operational
2.
Lingkungan Keluarga : termasuk dan tidak terbatas dengan dukungan
keluarga inti – istri/suami dan anak-anak, ayah/ibu saudara serta keluarga lain
yang mempengaruhinya
3.
Lingkungan Komunitas : pertemanan dan pergaulan talent sangat
mempengaruhi ‘jadinya’ talent di kemudian hari
Lingkungan Kerja
Aspek ini sangat-sangat penting untuk melahirkan talent dengan
STAR quality dan STAR achievement. Banyak orang berpotensi tidak jadi ‘orang’
karena berada di lingkungan yang berbeda (lihat tulisan awal soal TEMPO)
sehingga bisa ‘Shock’ atau ‘Surprise’. Sebaliknya banyak orang ‘biasa’ bisa
menjadi orang ‘besar’ karena berada di lingkungan yang sangat mendukung.
Ada tiga hal utama dalam lingkungan kerja yang sangat mempengaruhi
tumbuhnya talent menjadi Star dan tumbuhnya Star menjadi ‘CEO candidate in the
future.’
Pertama, adanya kebijakan yang tegas dan jelas dari CEO perusahaan
tentang ‘talent management’ ini. Ini program yang bukan hanya harus di
‘endorse’ tapi dipimpin oleh CEO secara langsung. Tidak boleh didelegasikan ke
bagian HRD saja. Kebijakan yang jelas, tertulis dan rinci akan membuat
lingkungan kerja menjadi sangat transparan. Siapa yang menjadi talent akan
mendapat perlakukan ‘khusus’ misalnya akselerasi promosi, pengembangan,
assignment termasuk gaji dan benefit yang ada. Ini harus jelas diketahui oleh
semua orang walaupun tidak perlu terbuka siapa yang jadi ‘talent’. Ada banyak
kultur yang karena terbukanya, talent menjadi sasaran tembak rekan lain yang
tidak termasuk kategori talent. Tapi di kalangan petinggi siapa dan programnya
apa harus jelas dan tertata rapi.
Kedua, Atasan calon yang terpilih sebagai ‘talent’ harus aktif
terlibat dalam pengembangan si calon. CEO harus terlibat, atasan langsung harus
menjadi mentor yang baik. Sering terjadi talent tidak berkembang karena atasan
langsung tidak mendukung si calon karena memiliki ‘anak emas’ lain yang
dipersiapkan menggantikan dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Sekali diputuskan
bersama di tingkat atas, semua atasan langsung yang terlibat harus mendukung
walaupun secara individual ia tidak menyetujui si talent. Dukungan atasan
langsung akan membuat si talent menjadi ‘well accepted’ dan berani melakukan
apa saja agar tidak mengecewakan para atasan yang sudah memilihnya sebagai
talent.
Ketiga, lingkungan dalam skala organisasi juga harus mendukung.
Artinya sudah disiapkan bahwa di perusahaan ini yang berlaku sistem
‘meritokrasi’ bukan ‘senioritas’. Siapa yang berpotensi tinggi akan bisa naik
ke posisi tinggi tanpa menunggu urut kacang. Dalam praktek implementasinya,
dalam menyusun Replacement Table Chart (RTC) atau bagan suksesi di tiap kotak
organisasi, atasan tidak boleh hanya melihat orang di bagiannya, ia harus
melihat seluruh ‘pool of talent’ yang ada di seluruh organisasinya. Ia harus
memilih kader pengganti dari ‘the best of the best in the organization.’ Ini
berarti konsep ‘cross rotation’ harus diterima sebagai hal wajar. Ini konsep
lingkungan yang amat penting. Kalau setiap divisi atau fungsi hanya memikirkan
karyawan dari fungsi atau divisinya dalam rencana suksesi maka program talent
management ini akan berjalan tertatih-tatih.
Tidak mudah memang menciptakan lingkungan kerja yang mendukung
lahirnya para STAR, tapi justru di sinilah daya saing perusahaan ini di pasar
tenaga kerja. Itu sebabnya ‘environment readiness’ ini adalah permainan orang
tingkat atas. It is CEO Game. “Do you dare to foster the environment that
support talent to grow up or not.”
Untuk direnungkan :
1.
Apakah perlu menciptakan lingkungan bagi seorang talent agar
menjadi Star atau karena ia calon star bisa mencipatkan lingkungan yang akan
mendukungnya menjadi Star ?
2.
Seorang Star harus bisa berkembang di kondisi apapun dan dalam
lingkungan apapun. Dia akan berenang sendiri walau tanpa pelatih. Apakah Anda
setuju dengan hal itu ?
3.
Kalau talent menagement ini tidak didukung oleh CEO tapi merupakan
inisiatif HR, apa yang semestinya dilakukan oleh HR agar program ini didukung
CEO?
Environment Readiness – Lingkungan Keluarga
Aspek lingkungan kedua yang sangat penting untuk mendukung
lahirnya talent menjadi Star adalah lingkungan keluarga. Kenapa? Keluarga
adalah tempat interaksi setidaknya sepertiga dari waktu pengembangan Calling,
Character, Competencies di talent dalam menghadapi berbagai macam konflik
dengan satu paradigma “bersatu sampai maut memisahkan mereka.”
Ada tiga bagian lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi
jadinya talent menjadi Star.
Pertama, keluarga utama yakni ayah, ibu dan saudara kandung. Ini
sangat gamblang terlihat di banyak perusahaan dan banyak negara. Terjadi
dinasti yang kadang meresahkan banyak orang yang tidak termasuk di dalamnya.
Tapi kalau mau jujur dan terbuka, kemungkinan terjadinya dinasti adalah hal
yang wajar. Ayah dan Ibu yang menjadi senator/gubernur/presiden sudah mengikut
sertakan putra-putri mereka sejak dini bergaul di antara para elite politik bawahan
ayah/ibunya. Sejak kecil mereka diberi wawasan yang jauh lebih luas dari rekan
sebayanya. Sejak awal mereka berada di lingkungan yang sangat mendukung
pengembangan 3C mereka dengan cepat. Mereka berinteraksi dengan ‘the best and
the brightest’ di organisasi ataupun pemerintahan. Karena mendapat banyak
‘guru’ / ‘mentor’ dan ‘coach’ karena posisi ayah/ibu/saudara kandungnya maka si
anak akan dengan mudah terakselerasi kemampuannya.
Jadi bagi saya, adalah hal yang wajar, anak seorang CEO/direktur
akan memiliki kesempatan lebih besar menjadi CEO/direktur dibandingkan anak
seorang bawahan misalnya. Anak seorang presiden akan lebih berpotensi menjadi
presiden. Anak seorang pengusaha akan berpotensi menjadi pengusaha. Lingkungan
utama mereka yang membuat mereka mudah memperoleh akses jaringan, informasi dan
pengetahuan yang jauh lebih cepat, ‘up to date’ dibandingkan dengan rekan lain
yang harus berjuang dengan kekuatannya sendiri memperoleh itu semua.
Yang jadi masalah dan tidak pantas dalam etika dan moral adalah
menggunakan kekuasaan ayah/ibu/saudara kandungnya untuk mendapatkan jatah
sebagai pemimpin/talent. Atau hanya karena ‘the right last name,’ dia masuk
dalam kategori talent walaupun secara 3C sama sekali bukanlah talent yang
memadai. Ini termasuk korupsi kekuasaan yang jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan korupsi finansial karena melanggengkan kekuasaan kepada anggota keluarga
yang tidak pantas menjadi pemimpin. Ini akan merusak masa depan
organisasi/perusahaan bahkan negara.
Kedua, keluarga inti yakni suami/istri dan anak anak kandung. Ini
adalah ‘circle of influence’ yang paling dekat dengan si talent. Ini adalah
‘pelayanan’ dan ‘karya’ yang sebenarnya bagi si talent sebelum menembus karya
lain di dunia kerja. Lingkungan keluarga inti yang sangat mendukung dengan
karirnya akan mempercepat perkembangan posisinya.
Misalnya istri yang mendukung suaminya berkarir di kantor dengan
memperbolehkan suami menjadi pimpinan cabang di luar daerah dan ia bersedia
mengikuti suaminya kemana pun akan ditempatkan, akan sangat mempengaruhi
perkembangan si talent. Sebaliknya, bila istri mendukung secara setengah hati,
dengan menyilakan suaminya menjadi pimpinan cabang di daerah tapi ia tetap
tinggal di Jakarta atau daerah kelahirannya sendiri membuat suami tidak bisa
all out dalam menggapai prestasi karena kehilangan ‘sigaraning nyowo’ berbagi
kesulitan dan kehidupan di daerah terpencil misalnya. Dukungan dan keintiman
keluarga sangat mempengaruhi perkembangan kejiwaan talent secara keseluruhan.
Apalagi kalau ada istri yang tidak mendukung suaminya kemana mana dan hanya mau
suaminya berada di kotanya sendiri karena tidak mau berpisah dengan keluarga
utamanya, maka perkembangan si talent akan sangat terbatas. Ia masuk ke talent
regional dan bukan talent nasional.
Ketiga, keluarga luas mencakup kerabat dekat dalam hubungan darah
dalam arti luas. Ini lingkungan keluarga yang paling kurang berpengaruh
terhadap perkembangan talent. Kalaupun ada sangat terbatas, tapi tetap bisa
memberikan nilai positif kalau kekerabatan ini sangat dekat dan memiliki
hubungan komunikasi intens seperti saudara sekandung.
Lingkungan keluarga ini kalau dimanajemeni dengan baik akan
menjadi faktor pendukung yang positif terhadap perkembangan talent. Ini menjadi
tugas talent dengan mentor/coach-nya agar hal ini menjadi aktivitas yang
terencana dengan baik.
Untuk direnungkan :
1.
Apa pandangan anda soal terjadinya dinasti dalam organisasi
swasta? Apa yang seharusnya didukung dan yang seharusnya dihindari?
2.
Apakah pola rekrutmen anda mendukung pola ini atau sebaliknya
kebijakan rekrutmen tidak memperbolehkan anak dan ayah berada dalam satu
perusahaan?
3.
Bagaimana menarik calon dari anak ayah yang talent agar masuk ke
organisasi anda mengingat pepatah ‘orang yang hebat akan melahirkan anak yang
hebat juga’ ?
Environment Readiness
– Lingkungan Komunitas
Lingkungan ketiga yang sangat mempengaruhi pertumbuhan potensi
talent menjadi Star adalah Lingkungan komunitas di mana talent bergaul di luar
jam kerja. Komunitas akan membentuk si calon.
Ada pepatah yang mengatakan ‘tell me your friends and I will tell
you your future,’ saya kira ini ada benarnya. Rekan di komunitas akan membentuk
calon menjadi seseorang yang sesuai dengan komunitasnya. Calon yang bergaul
erat dengan PNS akan berbeda dengan yang bergaul erat dengan anggota Parpol dan
sangat berbeda dengan pergaulan dengan Wirausahawan. Pola pikir yang terbentuk
dari lingkungan itu akan mempengaruhi pola tindak dan pola tutur si talent.
Itu sebabnya, dalam ‘career counselling,’ seorang counselor harus
membantu talent mengembangkan komunitas yang sesuai dengan masa depan yang
ingin diraihnya. Bila si talent diproyeksikan menjadi CMO (Chief Marketing
Officer) dalam 5-10 tahun mendatang, harus disarankan bergaul dengan para
marketer, berguru pada para marketing guru seperti Hermawan Kartajaya, Handi
Irawan atau Handito.
Perusahaan harus memberikan dukungan finansial agar talent
bergabung dengan komunitas yang sesuai dengan rencana karir di masa mendatang.
Menjadi anggota klub atau organisasi tertentu agar mendapat pencerahan dari
luar serta bisa berkontribusi lebih luas lagi. Talent yang mengikuti jaringan
komunitas yang sesuai dengan karirnya, akan mempercepat perkembangan kematangan
pribadi dan kesahihan pengetahuannya.
Komunitas ini dalam generasi Y seperti sekarang ini bisa terjadi
di dua arena yang berbeda.
Pertama, arena real artinya komunitas fisik dengan perkenalan
secara fisik, pertemuan tatap muka dan berinteraksi secara langsung. Ini tentu
mempunyai keterbatasan dan kemaslahatannya sendiri. Semakin selektif tapi
mendalam pertemanan dengan komunitas tertentu akan semakin berpengaruh terhadap
perkembangan kepribadian dan kompetensi talent.
Kedua, arena virtual artinya komunitas di dunia maya lewat
twitter, facebook, blog, linkedlin dan berbagai komunitas lain. Komunitas
professional dalam dunia maya adalah tak terbatas. Kemampuan masing-masing
individu untuk ‘tap’ pada kompetensi diluar dengan ‘competent master’ menjadi
sangat terbuka. Saya pun sangat merasakan bahwa ‘engage’ dengan para guru di
luar sana sangat memperkaya wawasan dan pengetahuan. Bahkan kadang menjadi
kesempatan baru untuk mengembangkan karir dan kesempatan berbisnis yang tidak
didapat dengan komunitas real.
Talent yang berhasil mengembangkan diri dengan komunitas real dan
virtual akan mempercepat perkembangan 3C mereka sendiri. Ini akan berakibat
akseptabilitas ketika ia menjadi Star akan semakin tinggi.
Masalahnya banyak perusahaan yang tidak ‘mengijinkan’ para talent
berselancar di jam kerja. Banyak yang masih ber’persepsi’ bahwa keaktifan di
dunia maya adalah pemborosan waktu dan tidak ada gunanya. Itu sebabnya kanal
ini ditutup. Padahal jaman sekarang, talent bisa menembus blokade perusahaan
dengan gadget personalnya sendiri. Toh pada akhirnya sama saja, kalau yang
ingin menggunakan komunitas virtual untuk sekedar ‘pleasure’ maka itu akan
tetap terjadi, sedangkan talent yang ingin tapping pada ‘powerful source of
knowledge’ akan tetap berupaya juga dengan gadgetnya sendiri.
Kesimpulannya, lingkungan kerja, keluarga dan komunitas menjadi
lingkungan yang harus dibina agar menjadi lahan yang subur bagi munculnya Star
dari talent yang ada. Kalau ini tidak dikelola dengan baik oleh talent maupun
mentor, maka perkembangan talent akan tersendat.
Untuk direnungkan :
1.
Bagaimana perusahaan menjembatani lingkungan komunitas bagi para
talent ini ?
2.
Seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk mendukung talent
aktif di komunitas professional sesuai dengan arah karir yang sedang dijalani ?
3.
Sampai seberapa besar komunitas real dan virtual serta lokal dan
regional yang harus dikelola agar talent bisa tumbuh dengan cepat lagi ?
Mentoring System – Role of A Mentor
Aspek ketiga dalam Talent Management 4.0 setelah Talent
Identification dan Environmental Readiness adalah Mentoring System. Setelah
talent ditemukan atau diidentifikasi sebagai bibit yang potensial, lingkungan
harus disiapkan agar bibit tumbuh dan berkembang dengan baik. Untuk itu
diperlukan Mentor yang mengawasi pertumbuhan talent itu agar sesuai dengan yang
diharapkan. Hubungan yang dekat dan bersifat ‘one on one’ inilah yang membuat
Mentor dan Talent lebih dari sekedar Guru-Murid, Coaching-Coachee,
Trainer-Tranee, Consultant-Client tapi hubungan yang profesional dan personal
secara simultan. Ini yang disebut dalam istilah Jawa adalah ‘nyantrik.’
Supaya tidak membingungkan dengan berbagai istilah tersebut, saya
tertarik sekali ketika membaca buku “Coaching” yang menumbuhkembangkan.
‘Helping people help themselves’ karangan Dr. Paulus Kurnia, CBA (2011, Pionir
Jaya) yang amat cerdik membedakan beberapa kosa-kata yang sering serupa tapi
tak sama yang membingungkan banyak pemerhati dan praktisi sekaligus. Kata itu
adalah ‘Coaching, Mentoring, Counselling, Consultation dan Training.’
Saya mencoba menyarikan dari pendapat beliau yang bisa kita ambil
karena beliau mengenal betul konteks Indonesia dari berbagai istilah tersebut
sebagai berikut (hal 61-66).
Definisi
Coaching adalah sebuah metode untuk
membantu orang-orang agar mereka bisa menolong diri mereka sendiri untuk
menemukan agenda dan potensi pemberian Tuhan lalu mewujud-nyatakan hal-hal itu
di dalam kehidupan sehari-hari – melalui pendampingan, pemberdayaan dan kemitraan
yang berkesinambungan. Jadi coaching adalah upaya
pemberdayaan-pendampingan secara tidak langsung (non directive) kepada coachee
dan memimpin dari belakang (leading from behind).
Berbeda dengan coaching – walaupun ada tumpang tindihnya, mentoring bukan suatu usaha pembimbingan
atau kepemimpinan atas diri mentoree atau protege (orang yang dimentor) dari
belakang (from behind), namun justru secara langsung dan dari depan, melalui: memberi tahu, mendemonstrasikan bagaimana sesuatu
hal bisa dikerjakan atau diselesaikan. Mentor haruslah merupakan seorang
nara sumber pengetahuan sehingga ia dapat meneruskan pengetahuan itu kepada
mentoree-nya.
Konseling sangat bertolak belakang dengan
coaching bila dilihat dari orientasi pembimbingannya. Coaching berorientasi ke
depan: bagaimana seorang dibimbing, diarahkan dan diajarkan demi pengembangan
dirinya. Sedangkan konseling mengarah ke belakang: bagaimana seseorang yang
sedang mengalami masalah-masalah mental – dibantu ke arah kesembuhan atau
pemulihan. Jadi konseling bersifat terapeutik, sedangkan coaching bersifat
developmental.
Konsultasi adalah layanan berupa
nasihat-nasihat, tips-tips, dan metode-metode yang secara langsung diberikan
kepada klien. Maka itu, para konsultan cenderung harus memiliki keahlian-keahlian
yang handal pada bidang-bidang tertentu (misalnya: keuangan, marketing, bisnis,
manajemen) sebelum mereka memberi pertolongan kepada para klien mereka.
Training atau pelatihan adalah sebuah
bentuk pengajaran yang berorientasi pada cara-cara mengaplikasikan atau
mengimplementasikan sebuah teori atau pengetahuan atau petunjuk teknis.
Definisi saya soal Mentoring
Mengambil inspirasi dari buku yang menarik tersebut dan
menggabungkannya dengan trilogi pembelajaran ala Ki Hadjar
Dewantoro, saya mendefinisikan Mentoring dengan Hubungan
Mentor-Mentee seperti hubungan dengan gaya ‘nyantrik’ tadi sebagai berikut.
Mentor adalah seorang yang memiliki
‘kebijaksanaan–kepala–the head’, ‘karakter-hati-the heart’ dan
‘kompetensi-tangan-the hands’ (lihat buku karangan saya – Lead to Bless Leader)
untuk mengembangkan ‘talent’ sesuai dengan 3C: Calling, Character dan
Competencies-nya dari suatu posisi ke posisi lain yang lebih tinggi dalam
kurun waktu tertentu.
Jadi Mentor merupakan seorang yang secara holistik
mengenal si talent (Know the person) dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai
talent sesuai kebutuhan organisasi (Know the target) dalam kurun waktu tertentu
misalnya 3-5 tahun. Tujuan yang jelas dengan kurun waktu yang terbatas membuat
keduanya dapat merancang rencana kerja yang spesifik dan disesuaikan dengan
kekuatan Mentor-Talent yang bersangkutan.
Jadi bagi saya Mentoring bukanlah melulu berhubungan dengan
pekerjaan saja tapi berhubungan dengan pekerjaan, perilaku dan keseluruhan
aspek agar talent bisa meraih posisi yang diharapkan secara intelektual,
emosional dan bahkan spiritual bila diperlukan.
Itu sebabnya hubungan mentor-mentee saya bagi menjadi tiga bagian
yang saling mengisi sesuai dengan kesiapan talent dalam perjalanan waktu.
Pertama,
mentor harus memberi ‘teladan secara langsung dari depan’ tentang aspek
teknikal yang diperlukan, memberi contoh perilaku yang professional, etika
kerja yang baik secara langsung. Ini sesuai dengan trilogi pertama yakni ‘Ing
Ngarso sung tulodo’. Ini buat saya adalah konsep ‘teaching,’ mentor menjadi
‘trainer’ karena memiliki keahlian untuk menunjukkan cara dan konsepnya. 80%
dari tugas dilakukan dan disupervisi langsung oleh ‘trainer,’ talent melihat,
mengamati, mencoba dengan cara yang diajarkan oleh ‘trainer.’
Kedua,
ketika talent sudah memiliki kemampuan tertentu, mentor memberi kesempatan
talent untuk mengerjakan secara langsung dengan diawasi dari samping dengan
pemberian motivasi agar talent mengerjakannya dengan tepat. Ini sesuai dengan
konsep kedua yakni ‘Ing Madya mangun karsa.’ Ini peran mentor sebagai mitra
atau ‘partner’ yang memberi motivasi agar talent bisa mengerjakannya secara
mandiri. Dalam hal ini talent sudah 50% bisa mengerjakan secara mandiri, dengan
ide dan caranya sendiri atas tugas yang seharusnya dikerjakannya.
Ketiga,
ketika talent sudah semakin piawai maka tugas Mentor hanyalah mengawasi dari
belakang (leading from behind) agar talent tetap berada di ‘track’nya, jangan
salah arah dan jangan melakukan kesalahan yang membahayakan. Dalam hal ini
talent sudah 80 % mengerjakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan cara
dan gayanya sendiri. Di sinilah saya letakkan konsep ‘coaching’ dengan mentor
berfungsi sebagai ‘Coach.’ Ini sesuai dengan prinsip “Tut wuri handayani’.
Kesimpulannya Mentor memiliki tiga peran sekaligus sesuai dengan
kesiapan talent yakni sebagai ‘Trainer” dengan gaya “Ing ngraso sung tulodo,”
sebagai “Partner” dengan gaya “Ing madya mangun karsa,” dan sebagai “Coach”
dengan gaya “tut wuri handayani.” Hubungan Trainer-Trainee, Partner-Partner dan
Coach-Coachee inilah yang membedakan Mentoring System dalam kaitannya dengan
Talent Management dengan mentoring system untuk kepentingan lain.
Untuk direnungkan :
-
Apakah Anda memiliki Mentor yang akan membawa Anda ke ‘next level
of your life?’
-
Apakah Anda memiliki Mentee yang akan Anda bawa ke ‘next level of
their life?’
Kalau belum, apa yang akan Anda lakukan supaya Anda terus
berkembang dan Anda juga sedang mengembangkan orang lain?
Mentoring System – Mentor Home Work
Mengulangi kembali tulisan yang lalu
yakni “Jadi Mentor merupakan seorang yang secara holistik mengenal si talent
(Know the person) dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai talent sesuai
kebutuhan organisasi (Know the target) dalam kurun waktu tertentu misalnya 3-5
tahun. Tujuan yang jelas dengan kurun waktu yang terbatas membuat keduanya
dapat merancang rencana kerja yang spesifik dan disesuaikan dengan kekuatan
Mentor-Talent yang bersangkutan.” Jadi bagi saya Mentoring bukanlah melulu
berhubungan dengan pekerjaan saja tapi berhubungan dengan pekerjaan, perilaku
dan keseluruhan aspek agar talent bisa meraih posisi yang diharapkan secara
intelektual, emosional dan bahkan spiritual bila diperlukan.
Mengingat cakupan role yang sangat intens dengan mentee yakni
sebagai trainer, partner dan coach maka seorang Mentor harus menyiapkan
pekerjaan rumah alias home work-nya agar proses mentoring ini berjalan
dengan mulus dan sukses. Ada sepuluh hal, lima tahap persiapan dan lima tahap
pelaksanaan diskusi tatap muka yang sepatutnya dipersiapkan oleh para mentor
tersebut:
Tahap Persiapan
1.
Pelajari siapa mentee Anda secara holistik, bila data tersedia
mulailah dari lembaran aplikasi lamaran pekerjaan, hasil wawancara permulaan
dan rekomendasi interviewer tahap awal.
2.
Pelajari perkembangan karir dengan melihat siapa atasan langsung
dan siapa bawahan langsung karyawan. Ini untuk mendeteksi perkembangan
kompetensi dan kepribadian mentee.
3.
Pelajari perkembangan hasil karya utama yang menjadikan karyawan
tersebut menjadi talent, termasuk siapa evaluatornya.
4.
Pelajari talent aspiration tentang jenis pekerjaan dan ambisi
posisi yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu.
5.
Pelajari kondisi keluarganya dengan seksama, tidak terbatas pada
keluarga inti untuk mengetahui latar belakang yang bersangkutan
Tahap
diskusi tatap muka :
6.
Ketika mulai berdiskusi, selalu gunakan prinsip mendengar lebih
baik daripada bercerita. Prinsip mentoring adalah membuka katup potensi talent
dan itu berarti dengan mendengar banyak luapan emosi dan hati mereka.
7.
Catat dengan seksama kalimat-kalimat penting yang menunjukkan
aspiration, wish dan bahkan keluhan mereka di berbagai bidang yang mereka sudah
bagikan. Jangan batasi topiknya, buat mentee menjadi nyaman dengan Anda.
8.
Berikan masukan sesuai dengan tahap mentoring yakni teaching,
partnering dan coaching. Gunakan kombinasi dari ketiga hal tersebut secara
tepat. Berikan motivasi bahwa mereka bisa melakukannya.
9.
Rumuskan bersama arah yang akan dicapai, ini harus disetujui
berdua, dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Tuliskan secara rinci target
tersebut dengan jelas.
10.
Lakukan diskusi mendalam tentang bagaimana mencapai hal tersebut
termasuk rencana kerja dan rencana pertemuan selanjutnya.
Setelah pertemuan pertama selesai, pertemuan berikutnya harus
dilakukan dengan mengikuti rencana yang sudah disusun. Adakan pertemuan di
lapangan, di genba (tempat kerja mereka) atau di tempat informal seperti minum
kopi bersama untuk membangun ‘trust’ antara mentor dan mentee.
Komunikasi harus dikembangkan mulai dari komunikasi secara fisik
(pertemuan langsung), komunikasi secara virtual melalui email, social media dan
komunikasi emosional melalui pertemuan kekeluargaan saat ulang tahun, perayaan
lain yang dianggap perlu dihadiri.
Saya percaya menjadi mentor memerlukan banyak upaya dan pikiran,
itu sebabnya saya menganut prinsip mentoring baik yang secara direct (anak buah
langsung) maupun yang secara indirect (anak buah kolega) harus dibatasi.
Maksimal satu mentor hanya bisa efektif kalau memegang maksimal 5 mentee pada
saat yang bersamaan karena banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Pekerjaan rumah ini akan menjadi nyaman buat mentor ketika mentor
melihat kesungguhan mentee dan perkembangan mentee dalam karir dan
kepribadiannya. Ini merupakan pahala dan penghargaan yang paling membanggakan
buat seorang mentor.
Pertanyaannya:
1.
Di tempat Anda bekerja, seberapa banyak mentor yang punya komitmen
untuk menjadi mentor yang baik bagi mentee-nya?
2.
Apakah mentoring merupakan program HRD atau sudah menjadi program
masing- masing mentor yang yakin ini cara untuk membuat perusahaan maju?
3.
Apa reward bagi mentor secara finansial dan posisional ketika ia
berhasil melahirkan CEO yang baik dari hasil kerja kerasnya ?
Mentoring System – Mentee Home Work
Ada pepatah bijak yang mengatakan “employee development is employee
responsibility.” Kemajuan Anda sebagai karyawan atau mentee
bergantung pada kemauan Anda sendiri. Pengembangan karier Anda bergantung pada
kemauan pengembangan kompetensi Anda sendiri. Jangan menggantungkan kemajuan
Anda pada orang lain termasuk atasan atau perusahaan saja, tapi Andalah yang
menjadi kapten dari karier Anda. Seperti wejangan Noel Tichy, pakar manajemen
dari Michigan State University melalui bukunya yang menginspirasi banyak orang
“Control your
destiny or someone else will.”
Konsep inilah yang perlu disimak oleh para mentee agar proses
mentoring berjalan dengan sukses. Mentee bukan hanya harus proaktif tapi harus
menyiapkan pekerjaan rumah yang akan mengakselerasi pengembangan dirinya
sendiri.
Ada Do and Don’t yang harus dipahami mentee agar proses mentoring
berguna baik bagi Mentor maupun Mentee itu sendiri.
Do :
1.
Mentor adalah orang yang membantu Anda mewujudkan pengembangan
diri Anda, bekerjasamalah dengan mentor sejak perumuskan tujuan mentoring ini.
2.
Ceritakan secara terbuka kekuatan, kelemahan, aspirasi dan tujuan
karir Anda dengan jelas dan transparan. Semakin Anda mengkomunikasikan dengan
tajam akan semakin cermat mentor merencanakan tindakan selanjutnya.
3.
Aktiflah dalam membina hubungan dengan mentor dan upayakan
komunikasi yang konsisten dan kontinyu baik secara formal dan informal. Semakin
ada kedekatan hubungan maka proses mentoring akan semakin dalam.
4.
Segera berikan umpan balik kepada mentor ketika satu target atau
program sudah dilalui. Jujurlah evaluasi pekerjaan ini apakah sesuai dengan
harapan dan apakah perlu perbaikan.
5.
Rencanakan pertemuan dengan baik, rancanglah tujuannya dan
bersiaplah untuk mendapat tugas baru yang menantang.
Don’t :
1.
Bergantung sepenuhnya pada Mentor untuk merancang karir masa depan
Anda dan percaya bahwa mentor lebih tahu dari Anda
2.
Bertemu tanpa bersiap, dan bicara seadanya saja. Ingat mentor tak
akan mengerti ‘the why’ dengan baik kecuali Anda mengemukakan secara jelas
3.
Menyalahkan mentor bila program tidak berjalan dengan semestinya
4.
Menyalahkan mentor yang kelihatannya tidak punya waktu untuk
berdialog dengan anda. Anda harus pintar mencari dan mencuri waktu dan hati
mentor. Ketika ini terjadi, proses akan berjalan dengan semakin baik
5.
Berhenti di tengah jalan karena merasa sudah mampu berjalan
sendiri.
Pengalaman saya menunjukkan, setiap mentee yang tekun menjalankan
proses mentoring dengan baik akan semakin cepat dewasa dan akselerasi
kompetensi, karakter dan calling-nya semakin tinggi. Tidak ada manusia yang
bisa tumbuh sendiri, dia memerlukan orang lain untuk membantu pertumbuhannya.
Saran saya, jadilah mentee yang baik, persiapan kerangka kerja
dengan Plan Do Check Action yang rapi dan sistimatis, ini akan membuat Anda
bertumbuh secara cepat untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Pertanyaannya :
1.
Di tempat Anda bekerja, seberapa banyak mentee yang punya komitmen
untuk menjadi mentee yang baik bagi mentornya ?
2.
Apakah Anda memiliki mentor yang mengerti kebutuhan Anda ? Bila
belum carilah seseorang untuk menjadi mentor Anda. Ingat tak ada orang yang
bisa tumbuh sendiri, perlu orang lain agar Anda tidak jatuh ke lubang yang sama
dan mengulangi kesalahan yang pernah dibuat mentor Anda.
Mentoring System – Pitfalls of Mentoring System
Dari singkatan TEMPO untuk program talent management 4.0 ini, M
terletak di tengah- tengah, artinya di sinilah titik kritikal yang paling sulit
harus dilalui agar program talent management ini berhasil. Talent
Identification (T) dan Environment Readiness (E) relatif lebih mudah dilakukan
karena merupakan kerja banyak orang, jadi kegalauan seseorang, ketidak
semangatan satu orang, ketidak setujuan satu orang bisa dielimir dengan ‘crowd’
lain yang mendukungnya.
Namun, ‘moment of truth’ yang paling kritikal adalah di titik ini
yakni pertemuan Mentor dan Mentee. Karena sifatnya yang ‘one on one’ maka
keduanya harus memiliki paradigma yang sama dalam hal mentoring ini. Itu
sebabnya saya menulis tiga hal penting yang harus dilakukan, tentunya masih
dalam tatanan di kepala yakni aspek pengetahuan’, antara lain ‘role of a
mentor’, ‘mentor homework’ dan ‘mentee homework’.
Pada prakteknya, akhirnya paradigma Mentor dan mentee secara
individulah yang akan menentukan efektivitas program ini. Kalau ada mentor,
yang hanya sekedar dipilih sebagai mentor walaupun sudah disertifikasi masih
belum memiliki hati sebagai mentor, program ini akan jadi aktivitas tambahan
tanpa ada efektivitas hasil yang diharapkan.
Setidaknya ada 5 pitfalls yang sering terjadi dalam mentoring ini
:
1.
Mentor berpendapat dia sukses dan dia mencapai hasil seperti hari
ini, jabatan dan kompetensi, bukan karena bantuan atasan atau perusahaan. Dia
merasa semua karena usahanya sendiri dan karena kerja keras dan kerja
cerdasnya. Maka dalam mentoring ia akan melakukan beberapa kemungkinan dibawah
ini.
a.
Kikir Ilmu. Orang yang kikir ilmu akan ‘segan’ untuk membagikan
ilmu dan pengetahuan yang didapat kepada orang lain secara ‘Cuma-Cuma’. Kalaupun
membagi ia akan pakai jurus silat ‘Butongpay’ yang artinya membagi sekedarnya
tapi ia masih menyimpan jurus yang paling mumpuni untuk dirinya sendiri.
b.
Kuatir Posisi. Buat mentor yang begini, ilmunya adalah sarana
proteksi terhadap jabatan dan pangkatnya. Kalau ia membagi ke anak buah yang
lebih pintar maka ia takut akan kehilangan jabatan dan pangkatnya. Itu sebabnya
ia akan melakukan program ini tapi sebenarnya ia gunakan untuk menakut nakuti
atau justru memperlambat peningkatan kemampuan menteenya. Ia ciptakan sistem
untuk melestarikannya posisinya yang ia pegang karena ia merasa tak ada tempat
lain buat sang mentor berkarir.
c.
Luka Batin. Mentor yang luka batin akan memperlakukan menteenya
sebagai pesakitan dengan gaya mentoring yang menuju ke perploncoan. Kesempatan
balas dendam secara halus dengan cara selalu memberi masukan negatif dan tugas
berat tanpa ada maksud pengembangannya.
2.
Sebaliknya ada juga mentor yang mengalami seperti point no 1, tapi
justru dia berubah tak ingin mentee-nya mengalami seperti yang dia alami, maka
ia akan melakukan mentoring dengan revolusi yang dramatis misalnya:
a.
Melakukan mentoring dengan serius agar menteenya tidak usah
mengalamai apa yang dia alami sebelumnya. Misalnya dia harus menunggu 3 tahun
sebelum training A, Mentor akan mengusahakan agar menteenya mendapatkan
training yang dimaksud harus lebih rendah dari yang ia dapat misalnya hanya
satu tahun saja
b.
Ia akan mendorong mentee-nya mempercepat mentoring agar bisa
sesegera mungkin menggantikan dirinya agar dirinya bisa berkarir di tempat
lain. Akibatnya dia akan mendorong, mengupayakan si mentee memperoleh, menarik,
mendapat ilmunya sesegera mungkin.
c.
Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kalau melatih dan
mendorong orang lain ke arah yang lebih baik maka dirinya suatu saat akan
mendapat hal yang sama. Alasan inilah yang mendorongnya melakukan yang terbaik
buat mentee-nya. Siapa tahu mentee nya akan jadi presiden direktur perusahaan
di masa depan sehingga sewaktu dia pensiun dia masih bisa berhubungan dengan
perusahaan dalam banyak hal.
3.
Dari aspek mentee, banyak mentee yang tidak mau sabar dengan
program mentoring ini. Merasa menjadi orang hebat sehingga baru dua langkah
sudah menuntut kenaikan gaji, golongan dan pangkat dengan ancaman akan keluar
karena ada perusahaan lain yang mau. Ini akan berakibat pada hubungan yang
tidak baik antara mentee dan mentornya. Mentee yang tidak sabar karena merasa
sudah ‘mampu’ akan membuat program lanjutan menjadi berantakan.
4.
Perusahaan merasa tidak ada mentee yang pantas untuk dijadikan
talent. Kalau sudah begini maka akan sangat berat kondisinya. Kalau ini terjadi
ada banyak hal fundamental yang harus dibenahi. Apalagi kalau dalam lima tahun
terakhir jabatan strategis selalu datang dari luar, entah ‘drop drop’an dari kantor
pusat atau rekrut dari luar. Kalau ini yang terjadi maka perlu redefinisi lagi
kader ‘management traninee’ yang ada kalau perusahaan ini mau ‘mandiri’ dalam
hal talent dan tidak tergantung pada kelompok yang lebih besar atau kantor
pusatnya.
5.
Ini yang paling fatal, program mentoring ini ada hanya untuk
mengikuti ‘trend’ dan hanya jadi ‘program’ divisi atau direktorat Sumber Daya
Manusia/Human Resources/Human Capital/Talent saja. Tanpa keterlibatan CEO dan
CEO aktif sebagai Mentor untuk menjadi teladan maka program ini hanya ritual
yang pasti tidak akan menghasilkan kader seperti yang diharapkan dari awal.
Itu sebabnya saya katakan M ini adalah titik kritis yang harus
disiasati dengan seksama dan dipantau dengan cermat agar mentoring ini menjadi
‘napas’ dan ‘budaya’ perusahaan khususnya di tingkat pimpinan. Mentoring adalah
‘kerja ikhlas’, mentoring adalah ibadah yang akhirnya akan memberkati si mentor
sendiri.
Pertanyaan :
1.
Mana dari pitfalls ini yang sedang menghantui perusahaan Anda?
2.
Adakah hal lain yang menurut anda membuat Anda gagal menerapkan
program ini di kantor Anda?
Pilot Testing Field – Dare to fail
Tahap ke empat dari Talent Management 4.0 ini adalah menyediakan
‘sarana’ dan ‘prasarana’ latihan termasuk di dalamnya infrastruktur dan
suprastuktur yang dibutuhkan agar mereka bisa merasakan pengalaman lapangan
yang sesungguhnya. Ini tahap yang amat penting dan kritikal, semua akan menjadi
‘waste’ dan ‘percuma’ setelah dengan cermat melakukan ‘Talent Identification’,
menyiapkan dengan rapi ‘Environmental’ di perusahaan lalu dengan teliti
menyediakan para “Mentor’ yang berkomitmen tinggi, setelah itu perusahaan tidak
berani melakukan ‘testing’ dengan kondisi ‘real’.
Ada lima ‘pilot testing field’ yang bisa disiapkan oleh
masing-masing perusahaan untuk pematangan kader menuju puncak kursi CEO di masa
mendatang.
Pertama, tetap berada di fungsi yang sama tetapi pada perusahaan
lain yang berbeda (rotasi pada tingkat nilai jabatan/’job value’ yang sama).
Ini untuk melatih kepiawaian ‘talent’ pada budaya dan kultur organisasi yang
berbeda. Mengenal atasan dan bawahan yang berbeda, apalagi perusahaannya berada
pada bisnis yang sama sekali berbeda. Misalnya dari Finance and Accounting
Manager perusahaan alat berat di rotasi ke F&A Manager di perusahaan asuransi
jiwa atau di perusahaan distribusi mesin fotocopy.
Kedua, tetap berada di fungsi yang sama tapi berada di perusahaan
yang lebih kecil dengan tanggung jawab yang lebih besar walaupun secara ‘job
value’ tetap sama (rotasi pengembangan). Ini untuk melatih peningkatan
kompetensi walaupun secara kompleksitas dan kerumitan tidak jauh berbeda dengan
jabatan sebelumnya. Misalnya, F&A Manager perusahaan alat berat yang
beromzet IDR 3 Trilliun dirotasikan ke perusahaan komponen otomotif yang
beromzet IDR 0,2 Trilliun dengan jabatan menjadi Division Manager yang
membawahi juga Human Resources Department, Information Technology Department.
Ketiga, dirotasi ‘cross fungsional’, artinya ‘talent’ diberi
kesempatan pindah jalur dari fungsi yang selama ini dilakoninya baik dalam
perusahaan yang sama maupun perusahaan yang berbeda dengan tujuan memberikan
‘exposure’ baru agar kompetensinya bertambah luas. Misalnya F&A Manager
dirotasikan ke Operation Manager di perusahaan yang sama atau pindah ke
Manufacturing Manager di perusahaan baru (beda fungsi dan beda perusahaan
sekaligus).
Keempat, ‘talent’ diberi kesempatan untuk keluar jalur
fungsionalnya sama sekali dengan memberi kesempatan menjadi ‘project leader’
bisnis baru yang sedang dikembangkan perusahaan. Ini sekaligus melatih
kemampuan bisnis dan manajemen sumber daya manusia secara lengkap dengan diberi
tugas sebagai ‘kapten’ yang menentukan ‘rise and fall’ nya perusahaan. Misalnya
F&A manager, diangkat menjadi ‘project director’ (new CEO) perusahaan baru
di bidang jalan tol yang baru diakuisisi atau baru dimenangkan tendernya.
Kelima, ini yang paling menantang adalah memberikan ‘promosi’
jabatan sekaligus bidang baru dan perusahaan baru yang berbeda dengan
sebelumnya. Tujuannya melatih yang bersangkutan untuk menerima tanggung jawab
yang lebih berat di perusahaan baru. Ini secara faktual akan lebih mudah bagi
si ‘talent’ karena mendapat ‘promosi’ walaupun secara kompetensi yang
bersangkutan belum memilikinya dan harus membuktikan kesanggupannya. Misalnya
eksekutif bidang information technology dipromosi menjadi pemimpin di bidang
pertambangan.
Masih ada banyak kemungkinan lain sebenarnya, tapi tujuan dari
‘pilot testing field’ ini adalah adanya ‘arena bermain’ baru bagi ‘talent’
untuk membuktikan bahwa kapabilitasnya sudah bisa dikembangkan lagi setelah
mendapat ‘mentoring’ yang penuh komitmen. Tanpa ‘testing ground’ atau ‘teaching
hospital’ atau ‘development race’ layaknya pembalap F3 harus dilalui sebelum
menjadi F1 maka konsep pengembangan menjadi amat virtual.
Kesuksesan program ini terletak pada beberapa hal, yakni atasan
yang bersangkutan harus rela untuk melepas si ‘talent’ untuk mendapatkan
dan menjalani ‘testing’ ini. Walaupun di pekerjaan sekarang masih dibutuhkan,
dan acap kali sangat dibutuhkan karena memang ‘talent’ adalah ‘resource’ yang
kompeten, atasan harus merelakan untuk kepentingan si ‘talent’ dengan sedikit
‘mengorbankan’ kinerja bagian yang ditinggalkan bila calon pengganti ‘talent’
tidak sekelas dengan ‘talent’ tersebut. Ini haruslah pengorbanan yang diambil
untuk sesuatu hasil yang lebih besar di masa mendatang. Ini adalah ‘investasi
orang’ yang sangat penting.
Sebaliknya, bagi si ‘talent’ ini adalah suatu lompatan yang harus
disikapi dengan dua sikap dasar yang selain teguh harus menjadi komitmen yang
tak boleh dilanggarnya sendiri yaitu:
Pertama, sikap ‘burn the brigde’. ‘Talent’ harus membakar
‘jembatan’ artinya berani melupakan karir dan posisi di tempat lama dan tidak
berpikir untuk bisa kembali lagi. ‘No safe heaven’, ‘No turning back’, maju
atau mati, sukses atau mengundurkan diri. Sikap ini adalah sikap kesatria
seorang ‘talent’ yang tidak meminta diberikan ‘safety net’ seandainya gagal di
tempat yang baru (walaupun manajemen pasti akan membentangkan jaring pengaman
seperlunya kalau itu terjadi.
Kedua, sikap ‘dare to fail’. ‘Talent’ harus berani langsung tancap
gas, dan berani melakukan gebrakan, terobosan, inovasi tanpa takut gagal. Sikap
ini akan membuat ‘talent’ berani mengambil resiko sesuai dengan lingkup
tanggung jawabnya. Tidak seperti ‘bayi’ yang meminta banyak
‘bantalan/cushion’ tapi meminta otoritas penuh agar ia mampu memainkan peranan
di posisi yang baru secara lebih mandiri dan leluasa.
Kalau hal ini dilakukan, maka ‘pilot testing field’ ini menjadi
amat bermakna dan akan memberikan hasil yang maksimal bagi ‘talent’, ‘mentor’
maupun perusahaan secara luas.
Pertanyaannya :
1.
Bagaimana kalau perusahaan itu tidak memiliki perusahaan lain
bahkan cabang atau fungsinya juga amat terbatas? Apakah program ini hanya cocok
untuk perusahaan besar dan konglomerasi yang memiliki banyak lini usaha?
2.
Apa yang sebaiknya dilakukan perusahaan bila dalam dua kali
testing ternyata ‘talent’ tidak sesukses yang diharapkan? Apakah dikembalikan
menjadi karyawan biasa atau diberi kesempatan untuk meniti karir di perusahaan
lain?
Pilot Testing Field – Give Them Opportunity to Perform
Sore itu saya berdiskusi dengan tiga talents yang merupakan mentee
senior yang sedang saya bina menjadi pengusaha yang mumpuni. Mereka sedang
merancang sebuah kedai kopi gaya kopitiam dengan sentuhan modern yang sedang
menjadi ‘trendy’ di kalangan anak muda yakni ‘resort style’. Buat saya,
kopitiam adalah kedai kopi biasa. Harus dengan sentuhan tradisional dengan meja
kursi kuno berlandaskan marmer putih, dengan dinding agak kusam berlukisan
rumah kuno di jalan lawas entah itu di Singapore, Malaysia atau bahkan kota
Medan.
Salah seorang ‘talent’, sebut saja Kim memang seorang arsitek, ia
tidak serta merta menelan mentah konsep tradisional kopitiam yang disodorkan
Licensornya yang berasal dari Malaysia. Sebagai pemegang Master Franchise untuk
Indonesia, Kim dan suaminya Ang dibantu rekan bisnisnya Fung, mencoba mendobrak
pakem kopitiam kuno dengan menawarkan konsep dekorasi dan tata ruang baru.
‘Apa Anda yakin dengan konsep ini? Apa Licensor setuju dengan
konsep ini? Apa ongkosnya tidak terlalu mahal untuk makanan sekelas kopitiam
yang murah meriah? Apa segmen pasarnya cocok untuk daerah Kelapa Gading,
sebagai daerah kepala naga menurut kepercayaan etnis Tionghoa disuguhi kopitiam
dengan gaya ‘life style’ gaya ‘western’? Apa makanan dan ‘ambience’nya bisa
menyatu? Serangkaian pertanyaan gaya mentor yang saya coba alirkan untuk
menyegarkan ide yang mereka sedang bangun. Istri saya hanya tersenyum melihat
agresivitas saya yang secara tertata ingin menguji kemantapan mereka dalam
menelurkan konsep baru ‘ambience’ kopitiam di tengah persaingan kopitiam
tradisional.
‘Kita harus tampil beda karena kita bukan yang pertama. Kita harus
memberi nilai baru dan ‘value proposition’ baru yang tidak dipunyai pesaing
kita. Kita harus berani mendobrak pakem agar segmentasi kita berbeda dengan
yang sudah ada. Kita tidak boleh menyerang dengan diskon harga, karena ini akan
menjadi bumerang di kemudian hari’, begitu ‘nasehat’ anak saya sebagai pencetus
ide pertama bisnis Kopitiam ini.
Saya menikmati ‘pertempuran’ konsep para talents ini dengan
senang. Pertama, saya senang karena mereka berani mencoba hal baru yang secara
konsep belum pernah dicoba untuk daerah ‘keras’ seperti Kelapa Gading. Kedua,
segmentasi mereka jelas sehingga ini akan menjadi ‘penarik’ baru bagi calon
pelanggan karena selain makanan juga suasana yang ditawarkan yang diramu dengan
apik.
Sebagai mentor, tugas saya hanya memberi pertanyaan ‘out of the
box’ sebelum mereka mulai beraksi. Ketika mereka sudah bisa menjawab,
selanjutnya sebagai mentor harus berprinsip “Give them opportunity to perform”.
Dalam bahasa Nike, Just do it. Ini adalah ’pilot testing field’ untuk para
talents dalam menunjukkan kepiawaiannya.
Dirancanglah Hailam Kopitime (akhirnya mereka memakai istilah
Kopitime karena Kopitiam sedang berada di jalur perdebatan pengadilan) yang
terletak di Boulevard Raya Kelapa Gading sebagai ‘pilot testing field’nya.
Suasana resort sangat kental, dengan sentuhan teknologi informasi dan buku menu
seperti ‘fine dining’, disertai dua buah ruang VIP yang sangat ‘cosy’. Kim
dengan cantik meramu idenya dengan bantuan sentuhan fisik yang apik dari Ang.
Fung dan Daniel memberi masukan strategi pemasaran yang membuat beda.
Masa ujian tiba, September 26 tahun 2012 sirene tanda dimulai
pertempuran dengan ‘incumbent’ kopitiam dibunyikan. Hailam Kopitime, menggebrak
dengan ‘soft opening’ tanpa diskon dan tanpa ‘free guests’ hanya untuk
meramaikan outlet yang sedang dibuka. Saya terpesona.
‘Apa bisa tanpa diskon? Biasanya soft opening ada diskon 20% atau
bahkan lebih dari itu? Apa bisa tanpa promotion ‘above the line’ yang kuat?
Mengandalkan’below the line’ dengan ‘social media’ seadanya apa bisa menjangkau
berbagai kalangan? Fokus pada relasi pemegang saham apa mampu mendongkrak
loyalitas setelah masa undangan selesai?’, begitu saya selalu melontarkan
serentetan peluru untuk memberi wacana pikir bagi talents yang sedang ‘nervous’
di ‘medan pengujian’ ini.
Sekali lagi ‘Give them opportunity to perform’, serahkan keputusan
di tangan talent. Tugas mentor hanya memberi batas ‘cash burn’ kalau proyek ini
gagal, berapa kerugian yang akan ditanggung atau batasan waktu ‘time limit’
kalau ide ini kurang berhasil. Uang dan waktu adalah sumber daya yang bisa
dihitung dan ditargetkan, tapi hasil dari ide segar tak dapat diduga hasilnya
sebelumnya.
Mengejutkan sekali, dalam tiga bulan pertama, tingkat penjualan di
atas perkiraan para talents termasuk prediksi Licensor yang sudah malang
melintang di bisnis F&B ini. Tanpa diskon, tanpa gebyar promosi yang
membakar dana mereka menukik ke jantung persaingan resto di Kelapa Gading
dengan mengandalkan ‘Keenakan rasa makanan, Kenyaman ruangan dan Kerapian
pelayanan’.
Enam bulan baru saja berlalu, tepatnya 26 Maret 2013 mereka masih
bisa bertahan. Walaupun nilai penjualan tidak sekuat tiga bulan pertama tapi
nilainya masih di atas harapan. Hailam Kopitime menjadi tempat nongkrong anak
muda yang asyik, tempat pertemuan banyak pihak yang menyenangkan serta tempat
pertemuan keluarga yang sangat pas. Goyangan lidah nasi lemaknya yang paling
‘top markotop’, serta nasi ayam hailamnya yang ‘mak nyus’ meminjam istilah Mas
Bondan, asam laksa nya yang membuat ‘seger kemringet’nya lelucon Tukul Arwana
serta minuman ‘barley juice’ and ‘626 (lime juice)’ yang ‘second to none’.
Sabtu lalu, saya mengumpulkan para talents untuk mencari gebrakan
selanjutnya. Mereka sudah menyiapkan jurus enam bulan kedua. Saya hanya
tersenyum, menunggu ide baru dari mereka. Sambil menikmati Hailam Chiken Rice
dan minuman 626 malam itu saya tersenyum dalam hati. Mentor memang harus berani
lepas tangan, memberi kesempatan mereka berkreasi, jangan ketakutan untuk gagal
dan yang paling penting terus mengawasi agar mereka tidak terjerumus. Silahkan
mencoba kreasi para talents ini di Hailam Kopitime dan sampaikan saran Anda di
media ini untuk dijadikan bahan nasehat buat gebrakan mereka selanjutnya. Anda
bisa jadi mentor bersama saya agar talents mencapai hasil maksimal.
Pertanyaan :
1.
Kalau Anda sebagai pelanggan, apa yang harus diperbaiki agar
pelanggan semakin tertarik datang?
2.
Ide segar apa yang bisa ditambah agar mampu tetap bersaing dan
bahkan menjadi ikon gaya kopitiam di Jakarta ?
Pilot Testing Field – How low can you go
Memberi kesempatan pada Talent untuk berkarya di ‘pilot testing
field’ bukan serta merta tanpa batas dan tanpa ukuran yang jelas. Bahkan,
karena sifatnya yang ‘testing ground’ maka ukuran keberhasilan yang harus
diberikan kepada si talent harus lebih ‘strech’, lebih ‘menantang’ dan ‘lebih
sulit’ dibandingkan dengan pemegang jabatan biasa yang tidak termasuk dalam
talent.
Agar memberi maslahat pada keduanya, mentor dan mentee, maka ada
tiga patokan besar yang harus menjadi ukuran bersama dan kesepakatan bersama
dalam penerjunan talent ke ‘testing field’ ini, yaitu soal berapa banyak
Resources (Sumber Daya) yang ‘direlakan’ untuk dibakar (dikorbankan atau
disisihkan) kalau project yang dilaksanakan oleh talent menemui kegagalan.
‘Resources Burnt’ ini terdiri dari tiga aspek yang sangat penting yakni ‘Cash
Burnt’, ‘Staff Burnt’ dan ‘Time Burnt’.
Pertama, ‘Cash Burnt’. Berapa besar dana yang dialokasikan untuk
dibakar alias terhilang bila project yang dikerjakan talent menemui kerugian.
Berapa kerugian yang siap ditanggung perusahaan tanpa membebani perusahaan tersebut
dengan beban yang berat sehingga membuat goyang kondisi keuangannya. Besaran
angkanya tentu sangat bervariasi bergantung pada kemampuan perusahaan.
Ketika angka yang sudah disepakati ini dilampaui, maka dengan
segera mentee dan mentor menghentikan proyek ini dan siap melakukan ‘cut loss’.
Harus berani berhenti terlebih dulu dan tidak melanjutkan pekerjaannya walaupun
kelihatannya hampir membuahkan hasil. Kedisiplinan ini akan membuat perusahaan
lebih aman dan tidak tergelincir dengan bola salju kerugian karena ketidak
beranian memutus kerugian yang terjadi.
Yang sering terjadi adalah, ketika talent ini adalah anak atau
keluarga si pemilik, biasanya ‘besaran cash burnt’ ini menjadi sangat relatif
dan kadang justru tidak ada pembatasan yang jelas yang mengakibatkan bukan
hanya proyeknya gagal tapi perusahaannya menjadi perusahaan yang gagal. Tidak
sedikit membuat perusahaan induk juga bangkrut hanya gara-gara anak muda,
generasi kedua yang tidak bisa dibatasi oleh para professional atau bahkan
ayahnya sendiri. Sejarah membuktikan ini yang membuat banyak perusahaan
keluarga habis di generasi kedua atau ketiga karena kekurang disiplinan dalam
melakukan ‘cut loss’.
‘Enough is enough’, ini hukumnya. Talent maupun Mentor harus
berani melakukan amputasi tanpa berpikir emosional kalau angka ini terlampaui.
Kedua, ‘Staff Burnt’. Artinya sejauh mana sumber daya manusia yang
dialokasikan untuk proyek pengembangan ‘talent’ ini bisa di ‘BKO’ kan ke talent
untuk membantu pekerjaan di proyek yang dipersiapkannya. Jumlah orang dan
kualifikasi harus dibicarakan dan dijadilkan acuan untuk mentor dan mentee
dalam mengevaluasi team yang menjadi ‘squad’.
Talent boleh memilih anggota yang terbaik, ini paling ideal tapi
ada juga cara lain yakni talent harus menggunakan staff yang ada untuk
membuktikan kepiawaiannya mengubah staff yang ada dengan proyek yang luar biasa
hasilnya menjadi sangat luar biasa. Ini sangat bergantung pada jenis proyeknya
dan kesepakatan dengan mentor cara mana yang harus ditempuh.
Ketiga, ‘Time Burnt’. Ini soal jangka waktu, sampai berapa lama
talent bisa mengerjakan proyek ini. Ukuran waktu juga harus definit walaupun
masih dapat lebih fleksibel dibandingkan dengan ‘Cash dan Staff’. Misalnya,
proyek inovasi tertentu membutuhkan waktu 1 tahun, dalam kenyataannya ada
banyak hal tak terduga diluar kontrol talent yang menyebabkan proyek ini harus
mundur tiga bulan misalnya soal perijinan dengan lembaga luar. Bagi saya, ini
masih bisa dibicarakan asalkan tidak membuat ‘cash dan resources burnt’
melebihi ambang batas yang telah disepakati.
Kalau mentor dan mentee sudah sepakat soal ini, maka mentee
sebagai talent terpilih akan lebih mudah berkreasi dan melakukan langkah
terobosan karena pagar-pagarnya sudah disepakati. Ia bisa bergerak bebas
di dalam koridor yang sudah diciptakan. Ini membuat talent bisa menampilkan
karya terbaiknya tanpa ada ketakutan hambatan yang sebenarnya bisa disingkirkan
sewaktu awal sebelum dimulainya proyek ini.
Kembali ke proyek di Hailam Kopitime edisi lalu, pemilik Hailam
juga sudah memberikan koridor ketiga hal ini secara jelas kepada talent untuk
mengembangkan kreasinya dengan ‘cash, staf dan time burnt’ tertentu. Itu
sebabnya mereka tidak segan melakukan langkah cantik yang tidak diduga
pesaingnya (kopitiam lain) yang tujuan utama menghasilkan laba sedangkan Hailam
Kopitime tujuan utamanya menghasilkan ‘talent’ yang siap berkarya lebih besar
lagi di bisnis lain.
Kalau begitu settingnya, maka kompetisi menjadi tidak seimbang
karena perbedaan tujuan. Kopitiam lain akan geleng-geleng kepala dan selalu
bertanya ‘why’ mereka lakukan hal ini dan hal itu seperti pembuatan
seminar-seminar di siang hari dengan mengundang para pakar untuk meningkatkan
okupansi di masa ‘low hour’ dengan harga yang amat terjangkau sedangkan bagi
Hailam team akan berkata ‘why not’.
Pertanyaan :
1.
Sampai sejauh mana perusahaan Anda serius mengembangkan talent
dengan mengalokasikan cash, staff and time burnt kepada mereka untuk
mengimplementasikan kreasinya?
2.
Sampai seberapa besar keterlibatan CEO dalam melihat progress talent
setelah melewati ‘cash, staff and time’ yang dilewatinya ?
Opportunity – Next Target, Level, Landscape
Kalau di fase pilot test masih merupakan inisiatif perusahaan dan
pimpinan dan dalam skala yang sangat terbatas karena memang tujuan hanya pilot project,
di fase Opportunity
to try new things ini talent diberi kesempatan untuk memikirkan hal
baru, memilih project baru, melahirkan konsep baru sesuai dengan pilihannya di
area yang dia pilih. Ini untuk menguji seberapa jauh kemampuan talent untuk
mewujudkan mimpinya dengan implementasi ide terobosannya.
Skala tantangan ini jauh lebih luas dari pilot project, harus
mencakup cross functional goals, cross functional team maupun cross company
dalam value chain yang sama. Idealnya talent diberi kesempatan untuk
membuktikan kemampuannya di satu perusahaan dengan skala yang kecil. Namun ini
tentunya sangat bergantung pada skala perusahaan yang ada, di sinilah
kenikmatan konglomerasi karena bisa membuat rotasi si talent ke perusahaan lain
untuk menguji kemampuannya.
Astra di bawah kepemimpinan Pak Prijono Sugiarto sangat percaya
pada pemberian kesempatan bagi talent muda yang sedang disiapkan untuk
menduduki jabatan CEO di banyak unit usaha. Rotasi calon CEO muda menjadi wakil
presiden direktur, presiden direktur di perusahaan lain yang lebih kecil
dilakukan secara sistimatis dan dalam skala masif sehingga putaran eksekutifnya
menjadi lebih luas.
Apa target yang harus dicapai oleh talent dalam fase ini ?
Pertama, yang saya sebut sebagai Next Target.
Artinya talent diminta untuk memikirkan langkah baru perusahaan dalam mencapai
target baru yang lebih menantang. Misalnya target market share, operational
excellence dalam bentuk cost reduction, plant improvement dan lain sebagainya.
Konteksnya masih dengan cara yang saat ini, bisnis saat ini, produk saat ini,
proses saat ini, team saat ini, diupayakan dengan maksimal untuk memberi hasil
yang berbeda karena sentuhan si talent pada people, proses dan teknologi.
Sekali lagi, tidak menambah produk, cabang, atau langkah ekspansi apapun tapi
menggunakan fasilitas yang ada dan dilakukan improvement maupun innovation.
Kedua, langkah Next Level. Ini adalah tantangan yang mencoba
mengangkat kinerja perusahaan ke level yang baru. Misalnya dari jualan produk
menjadi jualan solusi. Menjual tire diubah jadi menjual jasa Tire management.
Penyewaan mobil menjadi Transportation Management System. Menyewakan alat berat
menjadi kontraktor pertambangan. Di sini talent sudah mengubah bisnis proses
yang akan membawa dampak cara kerja yang berbeda. Apa yang dilakukan UT dengan
mengubah PAMA anak perusahaannya dari sekedar rental alat menjadi Mining
Contracting ternyata berbuah benar. Sudiarso Prasetyo sebagai kapten saat itu
membuktikan dirinya pantas menjadi CEO yang mumpuni karena mampu menyiasati
perubahan ke Next Level ini dengan cantik sekali. Bahkan saat ini PAMA menjadi
kontributor terbesar di UT Group. Kalau sekarang tongkat estafet kepemimpinan
sudah diserahkan ke Frans Kesuma, PAMA yang sudah menjadi the biggest
mining contracting di Indonesia, akan tetap survive menghadapi
gejolak harga batu bara yang membuat sempoyongan pemegang konsesi. Sudiarso
yang diberi kesempatan TP Rachmat dan Benny Subianto itu sudah melahirkan Frans
Kesuma.
Ketiga, kesempatan menuju ke Next Landscape. Artinya
talent diminta untuk mengembangkan portfolio baru yang menjadi lanskap baru
perusahaan. Misalnya mengakuisisi pelabuhan baru yang selama ini belum pernah
ditekuni. Membuat perusahaan pengangkutan batu bara dengan menggunakan tug and barge
sebagai complementary service perusahaan pertambangan misalnya. Perusahaan
rental mobil mencoba masuk ke taxi. Perusahaan tol masuk ke property dan
industrial estate.
Kalau perusahaan bisa menyediakan kesempatan ini, talent akan
lebih matang dan siap mengemban tugas di masa mendatang. Pertanyaannya adalah
apa leader yang sekarang berani melakukan langkah ini?
Opportunity – Sitting at the Throne
Salah satu kesempatan langka yang bisa
diberikan pimpinan kepada talent adalah praktek kepemimpinan dalm arti
sebenarnya yakni duduk di posisi strategis di level pengambil kebijakan
setidaknya satu level di atas posisinya sekarang. Misalnya bila si talent
levelnya Department Manager harus diberi kesempatan untuk duduk di level
General Manager atau Division Manager. Bila si talent adalah seorang Division
Manager harus diberi tempat duduk di kursi Direksi. Bila si talent sudah jadi
direktur fungsional maka ia harus diberi kesempatan menjadi wakil presiden
direktur, Chief Operating Officer atau bahkan CEO perusahaan.
Ini adalah titik kritis pengembangan
talent menuju ‘real challenge’ apakah ia mampu menduduki tangga yang lebih
tinggi atau ia masuk ke era ‘level of incompetence’ alias ‘mentok’ di jabatan
tertentu atau scope pekerjaan tertentu. Keberanian pimpinan puncak memberi kesempatan
talent untuk duduk di posisi kunci merupakan hal penting bagi di talent, mentor
maupun pimpinan puncak yang sedang mencari kadernya.
Shasimi Method
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh
untuk mendudukkan si talent di posisi baru yang lebih tinggi dibandingkan
posisi sekarang walaupun di perusahaan yang scopenya lebih kecil, yaitu metoda
yang saya sebut sebagai ‘sashimi’. Artinya talent didampingi mentor diberi
kesempatan menjadi ‘wakil eksekutif’ yang mengeksekusi kebijakan yang diambil
oleh pimpinannnya.
Misalnya talent menjadi ‘wakil
division head’, artinya division head yang mengambil kebijakan tapi si talent
yang harus mengkordinasi untuk eksekusinya. Setelah talent semakin matang, maka
talent harus mengambil kebijakan dan mengeksekusinya sedangkan division head
berfungsi sebagai mentor.
Program ini akan sukses kalau division
head lama yang akan digantikan oleh si talent sudah dipersiapkan jabatan baru
yang lebih baik. Maka ia dengan ‘legowo’ dan sukacita akan segera menyerahkan
posisinya bagi si talent. Kalau ia pun belum jelas ke mana arahnya, maka yang
sering terjadi adalah ia mengganjal si talent agar tidak sukses. Ini sangat
manusiawi, itu sebabnya saya sebut sebagai ‘sashimi’ karena urutannya harus
beriringan secara simultan.
Prinsip “deputy’ dalam ‘sashimi
method’ ini sangat lazim digunakan untuk proses pengembangan si talent. Banyak
perusahaan yang menggunakan cara ini, hanya sayangnya banyak pula yang tidak
konsisten menggunakan hal ini. Misalnya ada orang yang di ‘deputy’ kan bukan
untuk calon pengganti tapi untuk ‘parkir’ orang tersebut. Ada juga jabatan
‘deputy’ yang sekedar ada untuk pembagian tugas saja dengan pimpinannya karena
scope yang terlalu luas. Ini yang membuat kebingungan sistem dan talent, tidak
memberikan ‘signal’ yang jelas kepada karyawan lain karena ‘deputy’ bisa
berarti banyak hal.
Kesuksesan program ‘deputy’ ini
(kecuali posisi deputy presiden direktur yang ada di akta dan untuk kepentingan
pemegang saham) bergantung pada keseriusan untuk menempatkan posisi deputy
adalah bukan ban serep tapi anak tangga menuju kursi posisi yang sesungguhnya.
Role and Responsibility juga harus didefinisikan dengan cermat agar konotasi
ban serep itu sirna.
Captain Seat
Kesempatan lain yang bisa diberikan si
talent juga bisa menggunakan apa yang saya sebut sebagai ‘captain seat’, yakni
talent langsung ditempatkan di tempat baru menduduki jabatan secara ‘full’
artinya bukan deputy tapi dimentor oleh atasan langsung. Misalnya kalau talent
ditempatkan sebagai presiden direktur atau ‘CEO’ maka mentornya harus
ditempatkan sebagai presiden komisaris atau ‘chairman’. Dalam keseharian,
seluruh kendali operasi diserahkan kepada si talent untuk ‘operate’ dengan
pengawasan ‘minimal’ dari mentor secara tidak langsung di balik panggung
(artinya ada mentoring khusus yang rutin sebelum si talent mengambil kebijakan
yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan misalnya arah baru, produk baru
seperti yang ada dalam next target, next level dan next landscape).
Dengan duduk di ‘captain seat’ maka si
talent punya kesempatan seluasnya untuk membuktikan kepiawaian kompetensi,
karakter dan ‘calling’nya. Ini memang kursi panas karena dia berada di spot
light, dilihat bawahannya apakah ia pantas jadi kader CEO di masa mendatang,
dilihat sesama talent apakah ia pesaing yang hebat juga, dilihat promotornya
apakah anak didiknya mampu lolos dari ujian kursi panas ini.
Apapun metodanya, tapi kesempatan yang
diberikan para petinggi untuk talent harus digunakan sebaik-baiknya, ini adalah
ajang pembuktian seluruh proses pengembangan talent dari Talent identification,
mempersiapan Environment yang baik, Mentoring yang bersistem dan
berkesinambungan, didesain Pilot Testing Field atau ajang ketrampilan di
laboratorium yang masih banyak pagarnya baru terakhir di Opportunity yang
sebenarnya yakni ajang prestasi di kursi panas (TEMPO).
Pertanyaan :
1.
Sampai sejauh
mana metoda ini bisa diterapkan di perusahaan anda, mana yang lebih efektif?
2.
Sampai seberapa
jauh atau seberapa kali talent boleh diberikan ‘allowance’ kalau ia gagal di
fase ini? Apakah satu kali kesempatan dan masuk kotak?
Summary On Talent Management 4.0 : TEMPO
Sebagai kesimpulan dan insight dari apa yang sudah saya tuliskan
tentang ‘talent management’, berikut ini beberapa point penting bisa kita
petik.
Pertama, keberhasilan perusahaan dalam
jangka panjang adalah memenangkan persaingan di pasar. Persaingan teknologi,
proses, produk akan semakin sengit. Dengan dibukanya keran penutup yang selama
ini dijaga oleh masing masing negara, maka persaingan menjadi lebih ganas dan
dahsyat di beberapa tahun mendatang. Hanya perusahaan yang memiliki basis
teknologi, proses dan produk yang baik akan mampu memetik keuntungan dengan
dibukanya pasar tersebut. Negara dan perusahaan yang memiliki ‘power’ sebagai
‘natural owner’ akan semakin kuat dengan tiadanya hambatan birokrasi dan
peraturan yang selama ini menjadi susu bagi perusahaan di negara tetangga yang
tidak mau bersiap diri.
Kedua, agar perusahaan memiliki
kekuatan sebagai ‘natural owner’ yang solid dalam hal teknologi, proses dan
produk maka kekuatan utamanya adalah sumber daya manusia. Ini adalah kunci
pokok kemenangan di era persaingan bebas. Peperangan antar perusahaan akan
beralih dari peperangan produk menjadi peperangan sumber daya manusia. Siapa
yang memiliki SDM terbaik akan menjadi pemenang. Ini tidak dapat ditunda lagi,
ASEAN 2015 dan AFTA 2020 sudah di depan pintu. Para ahli dan tenaga kerja
trampil dari ASEAN akan membanjiri Indonesia karena memiliki pasar yang sangat
besar dan kelas menengah potensial yang sangat menjanjikan.
Ketiga, mengingat persaingan adalah soal
SDM, perusahaan perlu menata lagi fokus perhatiaannya soal SDM. CEO yang
dulunya memandang sebelah mata fungsi ini, sekarang harus kembali turun gunung
dan menjadi ‘leader’ di bidang ini, Minimal 40 persen waktunya harus digunakan
untuk memikirkan strategi dasar soal SDM ini. Kalau tidak perusahaannya akan
ditinggalkan talent terbaik dan tidak ada calon talent yang mau bergabung di
perusahaan ini.
Keempat, pergerakan buruh di era
demokrasi terbuka semacam ini akan semakin kuat. Tuntutan untuk dimanusiakan
dan dianggap mitra pengusaha akan makin tinggi. Pimpinan perusahaan tidak boleh
menggunakan kekuatan otot dan aparat untuk memberangus gerakan ini. Sudah usang
menggunakan pendekatan ancaman dan pendekatan represif lain. Diperlukan talent
yang kuat dan ‘smart’ agar mampu menjadi jembatan antara buruh dan pengusaha.
Kelima, dari keempat pokok pemikiran
tersebut, pengembangan talent harus disusun dengan kerangkan yang sistematis,
terstruktur dan mendapatkan komitmen yang paling tinggi dari jajaran paling
atas yakni CEO sampai para direktur dan kepala divisi untuk fokus pada SDM
khususnya talent ini.
Cara pengembangan yang saya sebut dengan metoda TEMPO ini bisa
dijadikan salah satu masukan agar perusahaan memiliki cara yang terstruktur
sehingga talent management ini menjadi dash board yang sama kuatnya dengan dash
board financial dan customer seperti profitabilitas dan pangsa pasar. Sampai
sejauh mana pangsa pasar kita di bidang talent di pasar tenaga kerja saat ini ?
Sampai sejauh mana daya saing kapabilitas talent kita dibandingkan dengan
pesaing ? Sampai sedalam mana komitmen nilai luhur di talent dalam menjalankan
bisnis dengan GCG ? Sampai seberapa kuat ‘engagement’ talent terhadap value dan
visi perusahaan ? Pertanyaan itu haruslah menjadi pertanyaan di tingkat board
dan menjadi kegalauan para anggota board kalau hasilnya tidak sesuai dengan
harapan mereka.
Sayangnya, program pengembangan talent ini tidak bisa
dimulai dari bawah, bottom up approach adalah pendekatan yang salah. Ini harus
dimulai dan diakhiri oleh orang atas alias top down approach. CEO harus mau
tahu dan mampu tahu soal talent ini. CEO harus berkomitmen mempimpin sendiri
pengembangan talent ini. Kalau tidak, ini hanya jadi aktivitas team HRD/SDM yang
hanya bagus di kertas tapi tidak memiliki jiwa yang kuat di perusahaan.
Nah, ini menjadi lampu merah dan lampu kuning bila CEO tidak sadar
bahwa fokus terhadap talent sudah tidak bisa ditunda lagi, Mulailah sekarang,
saat ini dengan mengindentifikasi talent yang terbaik (T), mempersiapkan
lingkungan yang kondusif agar talent bisa berkembang dengan baik (E),
menugaskan setiap pimpinan untuk menjadi mentor yang berdedikasi tinggi buat
setiap talent (M), memberi tempat latihan yang cukup agar talent bisa mengembangkan
kreasinya tanpa dihambat oleh birokrasi yang selama ini memenjarakan
pertumbuhan perusahaan (P) dan akhirnya memberi kesempatan talent untuk duduk
di ‘captain seat’ dalam menjalankan ide nya (O).
Saya yakin, kalau ini dijalankan dengan konsisten, perusahaan akan
mendapat buahnya. Ia menjadi perusahaan yang dicintai karyawannya dan
diinginkan oleh talent dai luar untuk menjadi perusahaan tempatnya bekerja
suatu saat nanti. Bukankah ini menjadi idaman setiap CEO, kalau kita mau
pensiun sudah banyak talent yang siap menggantikan kita dan kualitasnya jauh
diatas kita ?
Langganan:
Postingan (Atom)