by : Darmin A Pella
Setelah 77 tahun menduduki posisi
nomor 1 sebagai produsen mobil terlaris di dunia, General Motor kemudian
lengser ke ranking kedua. Posisinya kini diambil alih Toyota.
Di sepanjang 2008, GM menutup
penjualan 8.355.947 mobil dan truk di seluruh dunia. Sementara Toyota menjual
sekitar 8.972.000 dan berselisih 616 ribu unit. Bagi saya yang cukup lama
di Toyota, kenyataan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Meski
terjadi lebih cepat dari dugaan (karena adanya krisis global), prediksi bahwa
Toyota akan merajai dunia, menjadi sebuah logika pasti. Pertanyaannya hanyalah
kapan.
Toyota secara konsisten telah
menunjukkan jauh lebih baik dari pesaingnya dalam hal kualitas, produktifitas,
penurunan biaya, penjualan, pertumbuhan pasar, dan kapitalisasi pasar.
Tetapi juga mengherankan, begitu banyak peneliti, penulis, konsultan, wartawan
yang meliput Toyota. Begitu banyak pula perusahaan meniru Toyota.
Mengapa kesuksesannya tidak sebaik Toyota? Apa kunci sukses Toyota?
The Power of HR.
Di Harvard Business Review,
Stephen J. Spear menyebutkan bahwa Toyota memiliki DNA yang sulit
diduplikasi. Ketika perusahaan lain menirunya, mereka hanya meniru tampak
luarnya. Mereka tidak meniru DNA yang menjadi sumber perilaku dahsyat
sumber kemenangan kompetitif. Orang luar Toyota hanya meniru kanban
pull system, kaizen, heijunka, muda-mura-muri, nemawashi,
genchi genbutsu, pokayoke, visual control, small lot production, dan
seterusnya. Tetapi mereka belum berhasil menghunjamkan
filosofi dasar yang menegakkan sistem tersebut.
Saya mencermati, filosofi dasar
tersebut terletak pada cara pandang hubungan antara manusia dan
pekerjaannya. Toyota berhasil bukan karena Toyota Production
System. Tetapi karena berhasil mentransofrmasikan heart,
head and hand setiap manusia Toyota.
Sejak bergabung di Toyota 1995,
atmosfer bahwa otak manusia benar-benar diberdayakan ke level tertinggi
terasa dalam keseharian. Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin
seorang anak STM yang pada suatu saat di Jakarta dikenal sebagai tukang tawuran
di Jakarta, dapat diubah oleh Toyota menjadi seorang pegawai yang berpikir
untuk menghemat biaya perusahaan ratusan juta rupiah per tahun. Bila anak
STM ini berjumlah 100 orang, sejumlah itu pula pegawai pendidikan STM yang
bahkan belum genap berusia 20, telah memikirkan bagaimana menurunkan biaya produksi
perusahaan karena pemborosan biaya kualitas (critical cost to quality) sepanjang
tahun.
Mengapa hal ini terjadi?
Karena Toyota menganggap mereka manusia, bukan pekerja. Manusia
memilii sense of purpose. Pekerja memiliki sense of completing task.
Horison perlakuan dan harapan manajemen antar keduanya jauh
berbeda.
Mengapa para
lulusan STM yang demikian muda ini ini mampu meningkatkan
kualitas dan menurunkan biaya perusahaan? Karena mereka di didik.
Diberi asupan problem solving skills yang benar.
Diberdayakan kemampuannya untuk melihat masalah, sedemikian
sehingga problem awareness-nya tinggi. Dibuat mampu untuk menganalis
masalah, dengan menggunakan 7 tools for problem solving selevel ahli
statistik di sekolah bisnis.
Pada saat teman sekelas anak STM
berusia 19 tahun ini di perusahaan lain hanya bekerja, di Toyota ia diminta
berpikir. Ketika teman sekolahnya di perusahaan lain mengikuti instruksi
pekerjaan semata, Toyota meminta mereka untuk menemukan masalah,
menganalisisnya, memperbaikinya dan memperbaiki instruksi kerja. Sewaktu
teman kongkow-nya di perusahaan lain diminta untuk tidak mempertanyakan
segala sesuatu di tempat kerja, Toyota memberinya alat-alat bantu untuk
justru mempertanyakan lingkungan kerjanya, dan bagaimana membuatnya lebih baik
lagi.
Ini semua memungkinkan harga mobil
naik setiap tahun, biaya bahan material naik setiap tahun, tetapi di saat
bersamaan biaya produksi semakin turun. Hasilnya, keuntungan
yang jauh lebih baik dari pesaing. Ini memungkinkan munculnya fakta
adanya tahun di mana profit tahunan ketiga produsen utama dunia seperti GM,
Ford dan Chrysler digabung jadi satu, tetap lebih kecil dari profit Toyota
sendirian.
Sejarah Toyota dimulai ketika
Kiichiro Toyoda, pendiri Toyota yang lahir tahun 1894. Ayahnya, Sakichi
Toyoda dikenal sebagai seorang penemu mesin tenun otomatis (automatic loom).
Terbawa genetik keingintahuan besar untuk meneliti dan menghasilkan
sesuatu, Kiichiro Toyoda memutuskan mengabdikan dirinya untuk menghasilkan
mobil. Sesuatu yang tak jelas ujung pangkalnya saat itu. Dengan kerja
keras tanpa henti, bayi Toyoda, sebuah pionir prototipe mesin Model A kemudian
lahir tahun 1934. Diikuti mobil dan truk pertama tahun 1935, model
A1 dan G1. Disusul hasil desain kedua mobil model AA tahun 1936.
Tahun 1937, Toyota Motor Company berdiri sendiri, dipisahkan dari Toyota
Automatic Loom Company, untuk siap menempuh jalur karirnya sendiri.
Dari tahun 1936 sampai 1943,
Toyota mulai menjual sedan, tetapi jauh lebih sukses menjual truk dan bis.
Turn-around menuju percepatan produksi terjadi setelah perang
dunia ke-2. Di Desember 1945, Toyota membangun produksi mobil melalui
sistem manajemen yang justru diabaikan Amerika, namun dihidupkan oleh pelaku
legendaris Toyota yang dikenal kemudian: Taiichi Ohno. Sistem kaizen dan
lean manufacturing menjadi dasar produksi. Ohno lah yang
justru dikenal dalam sejarah Toyota sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar
pondasi filosofi, prinsip dan sistem manajemen Toyota, yang berlaku sampai saat
ini, di mana hubungan manusia dan pekerjaan didefinisikan melalui filosofi The
Toyota Way.
The Toyota Way adalah suatu sistem yang dirancang untuk menyediakan
alat-alat bantu agar manusia terus-menerus memperbaiki pekerjaannya.
Filosofi jangka panjang Toyota adalah setiap manusia memiliki kebutuhan
untuk mendapatkan makna, menemukan motivasi dan memantapkan tujuan pribadi
dalam hidupnya. Dalam mengambil keputusan, filosofi Toyota membuat para
pemimpin Toyota selalu mendasarkan keputusan-keputusan perusahaan pada
filosofi jangka panjang membangun perusahaan, meskipun itu berisiko pada
berkurangnya pencapaian tujuan finansial jangka pendek.
Toyota sangat percaya bahwa proses
yang benar akan memberi hasil yang benar ( The Right Process Will
Produce the Right Results). Saya ingat betul bagaimana CEO legenda
Astra International, T.P. Rachmat, membingkai filosofi ini setiap kali ia
memberi wejangan pada para manajer Astra: “Jangan hanya berkonsentrasi pada
hasil. Sebagai manajer, perbaiki prosesnya, Anda akan mendapatkan
hasilnya”. Proses yang dimaksud di sini adalah bagaimana pekerjaan
dilakukan, dan seberapa baik dan kompeten orang yang melakukannya.
Untuk mendapatkan valuable people
ini, Toyota tanpa henti, tanpa kenal lelah, tanpa pernah mempertanyakan
jumlah investasinya, tanpa pernah menahan membelanjakan uangnya, Toyota
memperbaiki manusianya. Toyota sangat percaya bahwa tidak mungkin ada
nilai tambah yang bisa dihasilkan manusia perusahaan, bila perusahaan
tidak memberi nilai tambah pertama-tama pada orangnya. Melalui in-house,
outhouse, overseas training, in class training, on the job training,
job assignment, mentoring, coaching, counseling, gemba, dan semua
cara pengembangan orang yang memungkinkan Toyota terus berusaha
merubah hati, cara berpikir, sikap kerja, kompetensi, karakter, motivasi dan
keterampilan manusianya.
Salah satu hal yang sangat
menyenangkan dan memberi rasa aman bekerja di Toyota adalah Anda tak akan
pernah dipertanyakan seberapa uang yang akan Anda belanjakan untuk mendapatkan the
right people. Anda justru akan lebih stress untuk berpikir apakah
program dan eksekusi pengembangan yang Anda lakukan sudah cukup atau belum,
baik dari sisi kuantitas, apalagi dari sisi kualitasnya. Pertanyaannya,
bukan berapa uang yang digunakan untuk pengembangan pegawai. Manajemen
Toyota sangat yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dengan pengembangan karyawan
untuk meningkatkan nilai tambah pegawai (value added for people). Manajemen
Toyota percaya bahwa return on human investment (ROHI) pasti akan
lebih baik, sepanjang programnya berkualitas. Asal
program dieksekusi sepenuh hati oleh semua level dan didukung penuh oleh
Direksi . Asal kualitas program terus dievaluasi dan ditingkatkan.
Semua investasi SDM dilakukan dengan
semangat tinggi karena, itulah premis dasar tercapainya filosofi berikutnya.
Bahwa hanya orang berkualitaslah yang mampu secara berkesinambungan
menyelesaikan akar-akar masalah di perusahaan. Bahwa hanya orang
berkualitaslah yang sanggup memperbaiki setiap proses bisnis menjadi lebih baik
dari pesaing. Bahwa hanya orang yang berkualitaslah yang sanggup
mentransfromasikan perusahaan menjadi organisasi pembelajar untuk memenang
persaingan (outperform the competition).
Hasilnya adalah Toyota memiliki DNA
yang sulit diduplikasi. Di Toyota, setiap pegawai memandang pekerjaan dan
perusahaannya sebagai sebuah laboratorium hidup. Mereka datang ke
perusahaan dengan sikap bahwa saya bisa mengubah sesuatu, saya bisa meneliti sesuatu,
saya bisa mempelajari sesuatu, saya bisa mengusulkan perubahan sesuatu.
Tidak ada yang sakral di tempat kerja ini. Tidak ada yang tidak
bisa diubah di sini. Saya bisa memperbaikinya. Ini adalah
laboratorium kehidupan. Di mana saya bisa mengusahakan diri saya sendiri
bekerja lebih cerdas (smart work). Bukan hanya bekerja semakin
keras (harder work). Dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih
baik.
Bila di Harvard Business Review,
Stephen J. Spear menyebutkan bahwa Toyota memiliki DNA yang sulit
diduplikasi, menurut saya inilah inti DNA tersebut. The Power of HR.
(dap)