Rabu, 27 November 2013

TOYOTA: THE POWER OF HR


by : Darmin A Pella

 
Setelah 77 tahun menduduki posisi nomor 1 sebagai produsen mobil terlaris di dunia, General Motor kemudian lengser ke ranking  kedua.  Posisinya kini diambil alih Toyota.

Di sepanjang 2008, GM menutup penjualan 8.355.947 mobil dan truk di seluruh dunia. Sementara Toyota menjual sekitar 8.972.000 dan berselisih 616 ribu unit.  Bagi saya yang cukup lama di Toyota,  kenyataan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan.   Meski terjadi lebih cepat dari dugaan (karena adanya krisis global), prediksi bahwa Toyota akan merajai dunia, menjadi sebuah logika pasti. Pertanyaannya hanyalah kapan.  

Toyota secara konsisten telah menunjukkan jauh lebih baik dari pesaingnya dalam hal kualitas, produktifitas, penurunan biaya, penjualan, pertumbuhan pasar, dan kapitalisasi pasar.   Tetapi juga mengherankan, begitu banyak peneliti, penulis, konsultan, wartawan yang meliput Toyota.  Begitu banyak pula perusahaan meniru Toyota.  Mengapa kesuksesannya tidak sebaik Toyota?  Apa kunci sukses Toyota?    The Power of HR. 

Di Harvard Business Review,  Stephen J. Spear menyebutkan bahwa Toyota memiliki DNA yang sulit diduplikasi.  Ketika perusahaan lain menirunya, mereka hanya meniru tampak luarnya.  Mereka tidak meniru DNA yang menjadi sumber perilaku dahsyat sumber kemenangan kompetitif.  Orang luar Toyota hanya meniru  kanban pull system, kaizen, heijunka, muda-mura-muri, nemawashi, genchi genbutsu, pokayoke, visual control, small lot production,  dan seterusnya.   Tetapi mereka belum berhasil  menghunjamkan  filosofi dasar yang menegakkan sistem tersebut.  

Saya mencermati, filosofi dasar tersebut terletak pada cara pandang  hubungan antara manusia dan pekerjaannya.    Toyota berhasil bukan karena Toyota Production System.  Tetapi karena berhasil  mentransofrmasikan heart, head and hand  setiap manusia Toyota.  

Sejak bergabung di Toyota 1995,  atmosfer bahwa otak manusia benar-benar diberdayakan ke level tertinggi terasa dalam keseharian.  Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin seorang anak STM yang pada suatu saat di Jakarta dikenal sebagai tukang tawuran di Jakarta, dapat diubah oleh Toyota menjadi seorang pegawai yang berpikir untuk menghemat biaya perusahaan ratusan juta rupiah per tahun.  Bila anak STM ini berjumlah 100 orang, sejumlah itu pula pegawai pendidikan STM yang bahkan belum genap berusia 20, telah memikirkan bagaimana menurunkan biaya produksi perusahaan karena pemborosan biaya kualitas (critical cost to quality)   sepanjang tahun. 

Mengapa hal ini terjadi?  Karena Toyota menganggap mereka manusia, bukan pekerja.   Manusia memilii sense of purpose.  Pekerja memiliki sense of completing task.  Horison perlakuan dan harapan manajemen antar keduanya jauh berbeda. 

Mengapa para lulusan  STM yang demikian muda ini  ini mampu meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya perusahaan?  Karena mereka di didik.  Diberi asupan problem solving skills yang benar.  Diberdayakan kemampuannya untuk melihat masalah, sedemikian sehingga problem awareness-nya tinggi.  Dibuat mampu untuk menganalis masalah, dengan menggunakan 7 tools for problem solving selevel ahli statistik di sekolah bisnis.  

Pada saat teman sekelas anak STM berusia 19 tahun ini di perusahaan lain hanya bekerja, di Toyota ia diminta berpikir.  Ketika teman sekolahnya di perusahaan lain mengikuti instruksi pekerjaan semata, Toyota meminta mereka untuk menemukan masalah, menganalisisnya, memperbaikinya dan memperbaiki instruksi kerja.  Sewaktu teman kongkow-nya di perusahaan lain diminta untuk tidak mempertanyakan segala sesuatu di tempat kerja, Toyota memberinya alat-alat bantu untuk justru mempertanyakan lingkungan kerjanya, dan bagaimana membuatnya lebih baik lagi.   

Ini semua memungkinkan harga mobil naik setiap tahun, biaya bahan material naik setiap tahun, tetapi di saat bersamaan biaya produksi semakin turun.  Hasilnya,  keuntungan yang jauh lebih baik dari pesaing.  Ini memungkinkan munculnya fakta adanya tahun di mana profit tahunan ketiga produsen utama dunia seperti GM, Ford dan Chrysler digabung jadi satu, tetap lebih kecil dari profit Toyota sendirian.   

Sejarah Toyota dimulai ketika Kiichiro Toyoda,  pendiri Toyota yang lahir tahun 1894. Ayahnya, Sakichi Toyoda dikenal sebagai seorang penemu mesin tenun otomatis (automatic loom).  Terbawa genetik keingintahuan besar untuk meneliti dan menghasilkan sesuatu, Kiichiro Toyoda memutuskan mengabdikan dirinya untuk menghasilkan mobil. Sesuatu yang tak jelas ujung pangkalnya saat itu.  Dengan kerja keras tanpa henti, bayi Toyoda, sebuah pionir prototipe mesin Model A kemudian lahir   tahun 1934.  Diikuti mobil dan truk pertama tahun 1935, model A1 dan G1.  Disusul hasil desain kedua mobil model AA tahun 1936.  Tahun 1937, Toyota Motor Company berdiri sendiri, dipisahkan dari Toyota Automatic Loom Company, untuk siap menempuh jalur karirnya sendiri.  

Dari tahun  1936 sampai 1943, Toyota mulai menjual sedan, tetapi jauh lebih sukses menjual truk dan bis.  Turn-around menuju percepatan produksi terjadi setelah perang dunia ke-2. Di Desember 1945, Toyota membangun produksi mobil melalui sistem manajemen yang justru diabaikan Amerika, namun dihidupkan oleh pelaku legendaris Toyota yang dikenal kemudian: Taiichi Ohno.  Sistem kaizen dan lean manufacturing menjadi dasar produksi.  Ohno lah yang justru dikenal dalam sejarah Toyota sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar pondasi filosofi, prinsip dan sistem manajemen Toyota, yang berlaku sampai saat ini, di mana hubungan manusia dan pekerjaan didefinisikan melalui filosofi The Toyota Way

The Toyota Way adalah suatu sistem yang dirancang untuk menyediakan alat-alat bantu agar manusia terus-menerus memperbaiki pekerjaannya.  Filosofi jangka panjang Toyota adalah setiap manusia memiliki kebutuhan untuk mendapatkan makna, menemukan motivasi dan memantapkan tujuan pribadi dalam hidupnya.  Dalam mengambil keputusan, filosofi Toyota membuat para pemimpin Toyota selalu mendasarkan  keputusan-keputusan perusahaan pada filosofi jangka panjang membangun perusahaan, meskipun itu berisiko pada berkurangnya pencapaian tujuan finansial jangka pendek. 

Toyota sangat percaya bahwa proses yang benar akan memberi hasil yang benar ( The Right Process Will Produce the Right Results).  Saya ingat betul bagaimana CEO legenda Astra International, T.P. Rachmat, membingkai filosofi ini setiap kali ia memberi wejangan pada para manajer Astra: “Jangan hanya berkonsentrasi pada hasil.  Sebagai manajer,  perbaiki prosesnya, Anda akan mendapatkan hasilnya”.   Proses yang dimaksud di sini adalah bagaimana pekerjaan dilakukan, dan seberapa baik dan kompeten orang yang melakukannya.   

Untuk mendapatkan valuable people ini, Toyota tanpa henti, tanpa kenal lelah, tanpa pernah mempertanyakan jumlah investasinya, tanpa pernah menahan membelanjakan uangnya, Toyota memperbaiki manusianya.  Toyota sangat percaya bahwa tidak mungkin ada nilai tambah yang bisa dihasilkan manusia perusahaan,  bila perusahaan tidak memberi nilai tambah pertama-tama pada orangnya.    Melalui in-house, outhouse, overseas training, in class training, on the job training, job assignment, mentoring, coaching, counseling, gemba, dan semua cara pengembangan orang yang memungkinkan Toyota terus berusaha merubah hati, cara berpikir, sikap kerja, kompetensi, karakter, motivasi dan keterampilan manusianya.  

Salah satu hal yang sangat menyenangkan dan memberi rasa aman bekerja di Toyota adalah Anda tak akan pernah dipertanyakan seberapa uang yang akan Anda belanjakan untuk mendapatkan the right people.  Anda justru akan lebih stress untuk berpikir apakah program dan eksekusi pengembangan yang Anda lakukan sudah cukup atau belum, baik dari sisi kuantitas, apalagi dari sisi kualitasnya.   Pertanyaannya, bukan berapa uang yang digunakan untuk pengembangan pegawai.  Manajemen Toyota sangat yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dengan pengembangan karyawan untuk meningkatkan nilai tambah pegawai (value added for people).   Manajemen Toyota percaya bahwa return on human  investment (ROHI) pasti akan lebih baik,  sepanjang programnya berkualitas.  Asal program dieksekusi sepenuh hati oleh semua level dan didukung penuh oleh Direksi . Asal kualitas program terus dievaluasi dan ditingkatkan.    

Semua investasi SDM dilakukan dengan semangat tinggi karena, itulah premis dasar tercapainya filosofi berikutnya.  Bahwa hanya orang berkualitaslah yang mampu secara berkesinambungan menyelesaikan akar-akar masalah di perusahaan.   Bahwa hanya orang berkualitaslah yang sanggup memperbaiki setiap proses bisnis menjadi lebih baik dari pesaing.  Bahwa hanya orang yang berkualitaslah yang sanggup mentransfromasikan perusahaan menjadi organisasi pembelajar untuk memenang  persaingan (outperform the competition)

Hasilnya adalah Toyota memiliki DNA yang sulit diduplikasi. Di Toyota, setiap pegawai memandang pekerjaan dan perusahaannya sebagai sebuah laboratorium hidup.  Mereka datang ke perusahaan dengan sikap bahwa saya bisa mengubah sesuatu, saya bisa meneliti sesuatu,  saya bisa mempelajari sesuatu, saya bisa mengusulkan perubahan sesuatu.  Tidak ada yang sakral di tempat kerja ini.  Tidak ada yang tidak bisa diubah di sini.  Saya bisa memperbaikinya.  Ini adalah laboratorium kehidupan.  Di mana saya bisa mengusahakan diri saya sendiri bekerja lebih cerdas (smart work).  Bukan hanya bekerja semakin keras (harder work).  Dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih baik.   

Bila di Harvard Business Review,  Stephen J. Spear menyebutkan bahwa Toyota memiliki DNA yang sulit diduplikasi, menurut saya inilah inti DNA tersebut.  The Power of HR.  (dap)

Selasa, 26 November 2013

HR Scorecard – Linking People, Strategy and Performance.





Penulis : Brian Becker, Mark Huselid, dan Dave Ulrich 

Melalui buku yang bertajuk HR Scorecard ini, tiga guru HR yakni Brian Becker, Mark Huselid dan Dave Ulrich mencoba membantu kita untuk mereproduksi manusia-manusia berkinerja unggul. Secara detil buku ini memberikan roadmap yang komprehensif mengenai upaya mensinergikan people, strategy dan performance. Dalam paparannya, ketiganya mendedahkan tujuh langkah sakti untuk membangun HR scorecard yang jitu dan optimal.

Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memahami secara jelas strategi bisnis yang hendak dituju perusahaan. Dari langkah inilah kemudian dapat dilakukan langkah kedua, yakni bagaimana pihak pengelola SDM mampu memberikan kontribusi bagi pencapaian strategi perusahaan/korporat. Dari fase inilah akan dapat dibangun koneksi antara strategi bisnis di masa depan dengan strategi pengembangan SDM yang akan dijalankan. Dengan kata lain, strategi dan program pengembangan SDM hanya akan memiliki makna jika ia selalu diintegrasikan dengan kebutuhan strategis perusahaan dalam menghadapi tantangan bisnis yang makin berat – baik dari sisi ekonomi makro maupun persaingan antar perusahaan.
Setelah kedua fase diatas dilakukan maka yang harus dilakukan dilakukan adalah merumuskan HR Strategy Map (langkah ketiga), dan sekaligus mengidentifikasi hasil-hasil konkrit (HR deliverables) yang akan dicapai oleh HR Strategy (langkah keempat). Pemetaan HR Strategy Map disini dapat dilakukan dengan mengacu pada pendekatan empat perspeketif Balanced Scorecard yang membagi sasaran HR kedalam empat area : yakni keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan area pembelajaran. Dalam empat area itulah, segenap sasaran HR dirumuskan dan dipetakan guna membentuk peta strategi yang koheren dan sekaligus mampu mendukung pencapaian sasaran korporat.

Dalam langkah kelima dilakukan proses penyelarasan antara sistem dan arsitektur SDM (HR architecture) dengan sasaran-sasaran strategis HR yang hendak dituju. Dengan kata lain, seperangkat sistem, kebijakan dan prosedur HR harus didesain agar selaras dan sekaligus mampu membantu pencapai sasaran strategis HR. Sebab jika tidak demikian, maka sasaran-sasaran yang telah dicanangkan akan sulit dicapai.
Pada langkah keenam, bangunan peta strategi HR yang telah didesain pada fase-fase sebelumnya mesti diuraikan secara lebih rinci kedalam indikator-indikator kinerja utama yang mesti dituju dan diraih ketika strategi HR dijalankan. Indikator yang terukur ini (measurable indicators) akan membantu para pengelola SDM untuk mengetahui sejauh mana mereka telah mampu mencapai target yang telah dicanangkan. Dan juga sekaligus akan memberikan informasi mengenai kontribusi finansial dari inisiatif strategis HR dalam mendongkrak kinerja perusahaan/korporat.

Langkah terakhir atau ketuju yang diuraikan oleh penulis buku ini adalah bagaimana semua fase diatas diimplementasikan secara konsisten dan sistematis. Dalam implementasi ini juga, proses monitoring dan review mesti secara reguler dilakukan guna melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement).

Ketujuh langkah di atas diyakini oleh ketiga penulis buku ini akan mampu membawa sinergi yang kokoh antara people, strategy and performance. Ditunjang dengan riset empirik dan data yang solid, serta pengalaman praktis ketiganya dalam implementasi projek pengembangan SDM, buku ini benar-benar menyodorkan informasi yang jitu dalam proses pengelolaan SDM berkinerja unggul. Sebuah buku yang selayaknya mewarnai perpustakaan setiap manajer SDM di negeri ini.

Buku yang ditulis oleh tiga guru SDM ini memberikan uraian yang jelas dan tajam mengenai proses penyusunan HR Scorecard. Itulah sejumput proses yang akan mampu memberikan sinergi bagi tiga tema kunci yakni : peope, strategy and performance. Sebuah buku yang layak dibaca bagi para pengelola SDM perusahaan.