Ini adalah titik kritis pengembangan talent menuju ‘real challenge’ apakah ia mampu menduduki tangga yang lebih tinggi atau ia masuk ke era ‘level of incompetence’ alias ‘mentok’ di jabatan tertentu atau scope pekerjaan tertentu. Keberanian pimpinan puncak memberi kesempatan talent untuk duduk di posisi kunci merupakan hal penting bagi di talent, mentor maupun pimpinan puncak yang sedang mencari kadernya.
Shasimi Method
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mendudukkan si talent di posisi baru yang lebih tinggi dibandingkan posisi sekarang walaupun di perusahaan yang scopenya lebih kecil, yaitu metoda yang saya sebut sebagai ‘sashimi’. Artinya talent didampingi mentor diberi kesempatan menjadi ‘wakil eksekutif’ yang mengeksekusi kebijakan yang diambil oleh pimpinannnya.
Misalnya talent menjadi ‘wakil division head’, artinya division head yang mengambil kebijakan tapi si talent yang harus mengkordinasi untuk eksekusinya. Setelah talent semakin matang, maka talent harus mengambil kebijakan dan mengeksekusinya sedangkan division head berfungsi sebagai mentor.
Program ini akan sukses kalau division head lama yang akan digantikan oleh si talent sudah dipersiapkan jabatan baru yang lebih baik. Maka ia dengan ‘legowo’ dan sukacita akan segera menyerahkan posisinya bagi si talent. Kalau ia pun belum jelas ke mana arahnya, maka yang sering terjadi adalah ia mengganjal si talent agar tidak sukses. Ini sangat manusiawi, itu sebabnya saya sebut sebagai ‘sashimi’ karena urutannya harus beriringan secara simultan.
Prinsip “deputy’ dalam ‘sashimi method’ ini sangat lazim digunakan untuk proses pengembangan si talent. Banyak perusahaan yang menggunakan cara ini, hanya sayangnya banyak pula yang tidak konsisten menggunakan hal ini. Misalnya ada orang yang di ‘deputy’ kan bukan untuk calon pengganti tapi untuk ‘parkir’ orang tersebut. Ada juga jabatan ‘deputy’ yang sekedar ada untuk pembagian tugas saja dengan pimpinannya karena scope yang terlalu luas. Ini yang membuat kebingungan sistem dan talent, tidak memberikan ‘signal’ yang jelas kepada karyawan lain karena ‘deputy’ bisa berarti banyak hal.
Kesuksesan program ‘deputy’ ini (kecuali posisi deputy presiden direktur yang ada di akta dan untuk kepentingan pemegang saham) bergantung pada keseriusan untuk menempatkan posisi deputy adalah bukan ban serep tapi anak tangga menuju kursi posisi yang sesungguhnya. Role and Responsibility juga harus didefinisikan dengan cermat agar konotasi ban serep itu sirna.
Captain Seat
Kesempatan lain yang bisa diberikan si talent juga bisa menggunakan apa yang saya sebut sebagai ‘captain seat’, yakni talent langsung ditempatkan di tempat baru menduduki jabatan secara ‘full’ artinya bukan deputy tapi dimentor oleh atasan langsung. Misalnya kalau talent ditempatkan sebagai presiden direktur atau ‘CEO’ maka mentornya harus ditempatkan sebagai presiden komisaris atau ‘chairman’. Dalam keseharian, seluruh kendali operasi diserahkan kepada si talent untuk ‘operate’ dengan pengawasan ‘minimal’ dari mentor secara tidak langsung di balik panggung (artinya ada mentoring khusus yang rutin sebelum si talent mengambil kebijakan yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan misalnya arah baru, produk baru seperti yang ada dalam next target, next level dan next landscape).
Dengan duduk di ‘captain seat’ maka si talent punya kesempatan seluasnya untuk membuktikan kepiawaian kompetensi, karakter dan ‘calling’nya. Ini memang kursi panas karena dia berada di spot light, dilihat bawahannya apakah ia pantas jadi kader CEO di masa mendatang, dilihat sesama talent apakah ia pesaing yang hebat juga, dilihat promotornya apakah anak didiknya mampu lolos dari ujian kursi panas ini.
Apapun metodanya, tapi kesempatan yang diberikan para petinggi untuk talent harus digunakan sebaik-baiknya, ini adalah ajang pembuktian seluruh proses pengembangan talent dari Talent identification, mempersiapan Environment yang baik, Mentoring yang bersistem dan berkesinambungan, didesain Pilot Testing Field atau ajang ketrampilan di laboratorium yang masih banyak pagarnya baru terakhir di Opportunity yang sebenarnya yakni ajang prestasi di kursi panas (TEMPO).
Pertanyaan :
- Sampai sejauh mana metoda ini bisa diterapkan di perusahaan anda, mana yang lebih efektif?
- Sampai seberapa jauh atau seberapa kali talent boleh diberikan ‘allowance’ kalau ia gagal di fase ini? Apakah satu kali kesempatan dan masuk kotak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar