Sebagai kesimpulan dan insight dari apa yang sudah saya tuliskan
tentang ‘talent management’, berikut ini beberapa point penting bisa
kita petik.
Pertama, keberhasilan perusahaan dalam jangka
panjang adalah memenangkan persaingan di pasar. Persaingan teknologi,
proses, produk akan semakin sengit. Dengan dibukanya keran penutup yang
selama ini dijaga oleh masing masing negara, maka persaingan menjadi
lebih ganas dan dahsyat di beberapa tahun mendatang. Hanya perusahaan
yang memiliki basis teknologi, proses dan produk yang baik akan mampu
memetik keuntungan dengan dibukanya pasar tersebut. Negara dan
perusahaan yang memiliki ‘power’ sebagai ‘natural owner’ akan semakin
kuat dengan tiadanya hambatan birokrasi dan peraturan yang selama ini
menjadi susu bagi perusahaan di negara tetangga yang tidak mau bersiap
diri.
Kedua, agar perusahaan memiliki kekuatan sebagai
‘natural owner’ yang solid dalam hal teknologi, proses dan produk maka
kekuatan utamanya adalah sumber daya manusia. Ini adalah kunci pokok
kemenangan di era persaingan bebas. Peperangan antar perusahaan akan
beralih dari peperangan produk menjadi peperangan sumber daya manusia.
Siapa yang memiliki SDM terbaik akan menjadi pemenang. Ini tidak dapat
ditunda lagi, ASEAN 2015 dan AFTA 2020 sudah di depan pintu. Para ahli
dan tenaga kerja trampil dari ASEAN akan membanjiri Indonesia karena
memiliki pasar yang sangat besar dan kelas menengah potensial yang
sangat menjanjikan.
Ketiga, mengingat persaingan adalah soal SDM,
perusahaan perlu menata lagi fokus perhatiaannya soal SDM. CEO yang
dulunya memandang sebelah mata fungsi ini, sekarang harus kembali turun
gunung dan menjadi ‘leader’ di bidang ini, Minimal 40 persen waktunya
harus digunakan untuk memikirkan strategi dasar soal SDM ini. Kalau
tidak perusahaannya akan ditinggalkan talent terbaik dan tidak ada calon
talent yang mau bergabung di perusahaan ini.
Keempat, pergerakan buruh di era demokrasi terbuka
semacam ini akan semakin kuat. Tuntutan untuk dimanusiakan dan dianggap
mitra pengusaha akan makin tinggi. Pimpinan perusahaan tidak boleh
menggunakan kekuatan otot dan aparat untuk memberangus gerakan ini.
Sudah usang menggunakan pendekatan ancaman dan pendekatan represif lain.
Diperlukan talent yang kuat dan ‘smart’ agar mampu menjadi jembatan
antara buruh dan pengusaha.
Kelima, dari keempat pokok pemikiran tersebut,
pengembangan talent harus disusun dengan kerangkan yang sistematis,
terstruktur dan mendapatkan komitmen yang paling tinggi dari jajaran
paling atas yakni CEO sampai para direktur dan kepala divisi untuk fokus
pada SDM khususnya talent ini.
Cara pengembangan yang saya sebut dengan metoda TEMPO ini bisa
dijadikan salah satu masukan agar perusahaan memiliki cara yang
terstruktur sehingga talent management ini menjadi dash board yang sama
kuatnya dengan dash board financial dan customer seperti profitabilitas
dan pangsa pasar. Sampai sejauh mana pangsa pasar kita di bidang talent
di pasar tenaga kerja saat ini ? Sampai sejauh mana daya saing
kapabilitas talent kita dibandingkan dengan pesaing ? Sampai sedalam
mana komitmen nilai luhur di talent dalam menjalankan bisnis dengan GCG ?
Sampai seberapa kuat ‘engagement’ talent terhadap value dan visi
perusahaan ? Pertanyaan itu haruslah menjadi pertanyaan di tingkat board
dan menjadi kegalauan para anggota board kalau hasilnya tidak sesuai
dengan harapan mereka.
Sayangnya, program pengembangan talent ini tidak bisa dimulai dari
bawah, bottom up approach adalah pendekatan yang salah. Ini harus
dimulai dan diakhiri oleh orang atas alias top down approach. CEO harus
mau tahu dan mampu tahu soal talent ini. CEO harus berkomitmen mempimpin
sendiri pengembangan talent ini. Kalau tidak, ini hanya jadi aktivitas
team HRD/SDM yang hanya bagus di kertas tapi tidak memiliki jiwa yang
kuat di perusahaan.
Nah, ini menjadi lampu merah dan lampu kuning bila CEO tidak sadar
bahwa fokus terhadap talent sudah tidak bisa ditunda lagi, Mulailah
sekarang, saat ini dengan mengindentifikasi talent yang terbaik (T),
mempersiapkan lingkungan yang kondusif agar talent bisa berkembang
dengan baik (E), menugaskan setiap pimpinan untuk menjadi mentor yang
berdedikasi tinggi buat setiap talent (M), memberi tempat latihan yang
cukup agar talent bisa mengembangkan kreasinya tanpa dihambat oleh
birokrasi yang selama ini memenjarakan pertumbuhan perusahaan (P) dan
akhirnya memberi kesempatan talent untuk duduk di ‘captain seat’ dalam
menjalankan ide nya (O).
Saya yakin, kalau ini dijalankan dengan konsisten, perusahaan akan
mendapat buahnya. Ia menjadi perusahaan yang dicintai karyawannya dan
diinginkan oleh talent dai luar untuk menjadi perusahaan tempatnya
bekerja suatu saat nanti. Bukankah ini menjadi idaman setiap CEO, kalau
kita mau pensiun sudah banyak talent yang siap menggantikan kita dan
kualitasnya jauh diatas kita ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar