Tahap ke empat dari Talent Management 4.0 ini adalah menyediakan
‘sarana’ dan ‘prasarana’ latihan termasuk di dalamnya infrastruktur dan
suprastuktur yang dibutuhkan agar mereka bisa merasakan pengalaman
lapangan yang sesungguhnya. Ini tahap yang amat penting dan kritikal,
semua akan menjadi ‘waste’ dan ‘percuma’ setelah dengan cermat melakukan
‘Talent Identification’, menyiapkan dengan rapi ‘Environmental’ di
perusahaan lalu dengan teliti menyediakan para “Mentor’ yang berkomitmen
tinggi, setelah itu perusahaan tidak berani melakukan ‘testing’ dengan
kondisi ‘real’.
Ada lima ‘pilot testing field’ yang bisa disiapkan oleh masing-masing
perusahaan untuk pematangan kader menuju puncak kursi CEO di masa
mendatang.
Pertama, tetap berada di fungsi yang sama tetapi pada perusahaan lain
yang berbeda (rotasi pada tingkat nilai jabatan/’job value’ yang sama).
Ini untuk melatih kepiawaian ‘talent’ pada budaya dan kultur organisasi
yang berbeda. Mengenal atasan dan bawahan yang berbeda, apalagi
perusahaannya berada pada bisnis yang sama sekali berbeda. Misalnya dari
Finance and Accounting Manager perusahaan alat berat di rotasi ke
F&A Manager di perusahaan asuransi jiwa atau di perusahaan
distribusi mesin fotocopy.
Kedua, tetap berada di fungsi yang sama tapi berada di perusahaan
yang lebih kecil dengan tanggung jawab yang lebih besar walaupun secara
‘job value’ tetap sama (rotasi pengembangan). Ini untuk melatih
peningkatan kompetensi walaupun secara kompleksitas dan kerumitan tidak
jauh berbeda dengan jabatan sebelumnya. Misalnya, F&A Manager
perusahaan alat berat yang beromzet IDR 3 Trilliun dirotasikan ke
perusahaan komponen otomotif yang beromzet IDR 0,2 Trilliun dengan
jabatan menjadi Division Manager yang membawahi juga Human Resources
Department, Information Technology Department.
Ketiga, dirotasi ‘cross fungsional’, artinya ‘talent’ diberi
kesempatan pindah jalur dari fungsi yang selama ini dilakoninya baik
dalam perusahaan yang sama maupun perusahaan yang berbeda dengan tujuan
memberikan ‘exposure’ baru agar kompetensinya bertambah luas. Misalnya
F&A Manager dirotasikan ke Operation Manager di perusahaan yang sama
atau pindah ke Manufacturing Manager di perusahaan baru (beda fungsi
dan beda perusahaan sekaligus).
Keempat, ‘talent’ diberi kesempatan untuk keluar jalur fungsionalnya
sama sekali dengan memberi kesempatan menjadi ‘project leader’ bisnis
baru yang sedang dikembangkan perusahaan. Ini sekaligus melatih
kemampuan bisnis dan manajemen sumber daya manusia secara lengkap dengan
diberi tugas sebagai ‘kapten’ yang menentukan ‘rise and fall’ nya
perusahaan. Misalnya F&A manager, diangkat menjadi ‘project
director’ (new CEO) perusahaan baru di bidang jalan tol yang baru
diakuisisi atau baru dimenangkan tendernya.
Kelima, ini yang paling menantang adalah memberikan ‘promosi’ jabatan
sekaligus bidang baru dan perusahaan baru yang berbeda dengan
sebelumnya. Tujuannya melatih yang bersangkutan untuk menerima tanggung
jawab yang lebih berat di perusahaan baru. Ini secara faktual akan lebih
mudah bagi si ‘talent’ karena mendapat ‘promosi’ walaupun secara
kompetensi yang bersangkutan belum memilikinya dan harus membuktikan
kesanggupannya. Misalnya eksekutif bidang information technology
dipromosi menjadi pemimpin di bidang pertambangan.
Masih ada banyak kemungkinan lain sebenarnya, tapi tujuan dari ‘pilot
testing field’ ini adalah adanya ‘arena bermain’ baru bagi ‘talent’
untuk membuktikan bahwa kapabilitasnya sudah bisa dikembangkan lagi
setelah mendapat ‘mentoring’ yang penuh komitmen. Tanpa ‘testing ground’
atau ‘teaching hospital’ atau ‘development race’ layaknya pembalap F3
harus dilalui sebelum menjadi F1 maka konsep pengembangan menjadi amat
virtual.
Kesuksesan program ini terletak pada beberapa hal, yakni atasan yang
bersangkutan harus rela untuk melepas si ‘talent’ untuk mendapatkan dan
menjalani ‘testing’ ini. Walaupun di pekerjaan sekarang masih
dibutuhkan, dan acap kali sangat dibutuhkan karena memang ‘talent’
adalah ‘resource’ yang kompeten, atasan harus merelakan untuk
kepentingan si ‘talent’ dengan sedikit ‘mengorbankan’ kinerja bagian
yang ditinggalkan bila calon pengganti ‘talent’ tidak sekelas dengan
‘talent’ tersebut. Ini haruslah pengorbanan yang diambil untuk sesuatu
hasil yang lebih besar di masa mendatang. Ini adalah ‘investasi orang’
yang sangat penting.
Sebaliknya, bagi si ‘talent’ ini adalah suatu lompatan yang harus
disikapi dengan dua sikap dasar yang selain teguh harus menjadi komitmen
yang tak boleh dilanggarnya sendiri yaitu:
Pertama, sikap ‘burn the brigde’. ‘Talent’ harus membakar ‘jembatan’
artinya berani melupakan karir dan posisi di tempat lama dan tidak
berpikir untuk bisa kembali lagi. ‘No safe heaven’, ‘No turning back’,
maju atau mati, sukses atau mengundurkan diri. Sikap ini adalah sikap
kesatria seorang ‘talent’ yang tidak meminta diberikan ‘safety net’
seandainya gagal di tempat yang baru (walaupun manajemen pasti akan
membentangkan jaring pengaman seperlunya kalau itu terjadi.
Kedua, sikap ‘dare to fail’. ‘Talent’ harus berani langsung tancap
gas, dan berani melakukan gebrakan, terobosan, inovasi tanpa takut
gagal. Sikap ini akan membuat ‘talent’ berani mengambil resiko sesuai
dengan lingkup tanggung jawabnya. Tidak seperti ‘bayi’ yang meminta
banyak ‘bantalan/cushion’ tapi meminta otoritas penuh agar ia mampu
memainkan peranan di posisi yang baru secara lebih mandiri dan leluasa.
Kalau hal ini dilakukan, maka ‘pilot testing field’ ini menjadi amat
bermakna dan akan memberikan hasil yang maksimal bagi ‘talent’, ‘mentor’
maupun perusahaan secara luas.
Pertanyaannya :
1. Bagaimana kalau perusahaan itu tidak memiliki perusahaan lain
bahkan cabang atau fungsinya juga amat terbatas? Apakah program ini
hanya cocok untuk perusahaan besar dan konglomerasi yang memiliki banyak
lini usaha?
2. Apa yang sebaiknya dilakukan perusahaan bila dalam dua kali
testing ternyata ‘talent’ tidak sesukses yang diharapkan? Apakah
dikembalikan menjadi karyawan biasa atau diberi kesempatan untuk meniti
karir di perusahaan lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar