Selasa, 05 Maret 2013

Filosofi Ular


Tahun 2013 ini, dirayakan sebagai tahun ular. Berbeda dengan peradaban barat yang cenderung melihat ular sebagai mahkluk dengan pandangan yang negatif, dalam penanggalan Timur khususnya di China, ular dipandang sebagai sisi feminim dari makhluk yang mirip tetapi lebih maskulin yakni naga. Karena itulah, dalam pandangan Timur ini, ular lebih diartikan sebagai perwujudan dari sifat-sifat ketenangan, kehati-hatian serta penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.

Namun, meski budaya tersebut melihat soal ular dari sisi yang lebih netral, bagaimanapun sulit kiranya melepaskan dari persepsi yang buruk soal ular. Ular seringkali digambarkan sebagai sosok yang menakutkan, licik serta penuh tipu muslihat. Bicara ular, rasanya tidak bisa kita lepaskan dari kisah Adam dan Hawa yang akhirnya berdosa, gara-gara seekor ular. Namun, kali ini, kita tidak akan mencoba melihat dari sisi negatifnya, tetapi, bagaimana melihat sisi “netral” binatang ini serta mengambil pembelajaran ular bagi motivasi kehidupan kita.

Belajar Filosofi Ular
Saya pernah menyaksikan kisah ular yang menarik di acara Animal Planet. Salah satu yang paling menarik adalah melihat bagaimana kisah ular besar disekitar wilayah gurun bersemak-semak di pegunungan di Amerika Latin.

Dikisahkan bagaimana ular-ular yang bertumbuh akhirnya akan mengalami masa pelepasan kulitnya beberapa kali. Berbeda dengan mahkluk yang punya tangan yang mungkin bisa mencopot bajunya, ular tidak bisa melakukannya. Karena itulah, hal paling menderita yang dilakukannya adalah membuat dirinya melewati semak-semak berduri dan membiarkan durinya menusuk tubuhnya lantas menarik lapisan kulit lamanya. Tak jarang, yang lepas bukan hanya kulitnya saja, tetapi sebagian tubuhnya pun terluka penuh baret karena duri-duri tajam tersebut. Dan hal ini berulang kali dilakukannya, hingga akhirnya kulitnya lepas sama sekali.

Dari sinilah saya melihat bahwa ada pelajaran kehidupan yang sebenarnya bisa kita petik. Pertama-tama adalah soal melepaskan kulit lama kita. Kadang-kadang kita terjebak dengan posisi, situasi ataupun kebiasaan lama. Akibatnya, sangatlah sulit bagi kita untuk melepaskannya serta keluar dari kondisi tersebut. Misalkan saja, ketika seorang karyawan memutuskan untuk menjadi seorang pebisnis. Ataupun, katakanlah yang lebih mudah yakni ketika seseorang yang lajang memutuskan ‘ganti kulit’ menjadi berstatus menikah. Semuanya tidak gampang, dan dibutuhkan keberanian serta pengorbanan  untuk mengganti kulit itu. Karena itulah, mirip dengan kondisi tersebut, maka ularpun ‘mencemplungkan’ dirinya agar proses pergantian kulit itu terjadi. Dan disitulah proses rasa sakitnya dimulai. Seperti itu pula saat kita memasuki sesuatu yang baru, fase baru, situasi baru ataupun kebiasaan baru. Ada rasa tidak menyenangkan, rasa sakit, benturan dan gesekan, tetapi semuanya dibutuhkan sebagai bagian dari proses pendewasaan kita menjadi yang baru.

Karena itulah, dari pembelajaran filosofi yang pertama ini, janganlah melihat halangan serta rintangan sebagai sesuatu yang membuat kita frustrasi. Mirip seperti ular dalam contoh kita yang nekat melewati semak berduri itu, seharusnya semangat itu menjadi bagian dari kehidupan kita. Masalahnya, di ujung sebelah sana, setelah melewati semak berduri tersebut, si ular tahu bahwa ia akan memiliki kulit yang baru. Dan betul juga kan dalam kehidupan kita? Setelah melewati berbagai kesulitan bertubi-tubi dan tantangan, kitapun menjadi manusia baru yang ototnya jauh lebih kuat.

Pembelajaran terpenting kedua yang bisa dipetik dari ular adalah soal gerakannya. Dengan gambaran yang sangat saintifik, di acara Aminal Planet tersebut, saya melihat bagaimana proses yang memungkinkan ular yang tanpa kaki itu bergerak. Mungkin seperti yang Anda duga, ular bergerak dengan dua proses penting, merilekskan lantas mengkontraksikan (menegangkan) ototnya. Ternyata, gerakan inilah yang memungkinkan ular bergerak maju. Nah, saya rasa filofosi itu pula yang perlu menjadi pembejaran dalam kehidupan kita, untuk maju! Rileks melulu, terlalu santai, tidak membuat kita maju kemana-mana. Tetapi, teralalu tegang dan stresspun tidak membuat kita bergerak. Kemajuan terjadi akibat prpaduan antara rileks dan stress yang sehat (orang menyebutnya ‘eustress’).

Cobalah perhatikan orang yang terlalu santai dalam hidupnya, tanpa goal yang jelas dan tidak punya ambisi sama sekali. Akhirnya, kita melihat orang seperti ini tidak mengalami kemajuan yang berarti. Begitu pula, hal yang sama kita perhatikan pada orang yang terlalu bekerja keras tanpa punya kesempatan berisitirahat. Akhirnya kitapun sering melihat orang itu berada pada posisi yang itu-itu saja, kerja sangat keras tetapi tidak punya kemajuan oleh karena kerjaaanya adalah sebuah kerjaan rutinitas. Mereka tidak sempat lagi rileks untuk memikirkan: apakah yang saya lakukan selama ini efektif? Bisakah cara ini dibuat lebih baik? Bagaimana membuat kemjuan yang lebih berarti? Mereka tidak sempat lagi memikirkannya karena terjebak dalm kesibukan mereka. Demikianlah, gerakan ular ini emberikan kita inpsirasi bahwa kemajuan hanya terjadi ketika kita sanggup memadukan rileks dan stress kita.

Dan akhirnya, pembelajaran utama teakhir yang bisa diperoleh dari ular adalah soal reputasinya. Kalau kita baca dan lihat di TV, ternyata banyak fakta menarik tentang ular yang tidak kita ketahuai. Kebanyakan, ular terkait dengan reputasinya yang buruk. Padahal, diketahui ada sekitar 3000 jenis ular dan hanya 375 ular yang berbisa, jadi hanya sekitar 10% spesies ular yang betul-betul berbahaya. Tetapi, pada kebanyakan kita persepsi yang muncul adalah seakan-akan semua ular itu berbisa, atau lebih banyak berbisanya daripada yang tidak berbisa. Selain itu, diketahui bahwa ular adalah mahkluk yang penakut dan pendiam selama tidak diganggu. Lalu, faktanya dalam setahun lebih banyak orang yang mati karena gigitan lebah daripada karena digigit ular. Nah, mengapa berbagai persepsi ini muncul? Alasannya sederhana sekali sebuah reputasi yang jahat, lebih cepat tersebar daripada reputasi yang baik. Lagipula, suatu kesalahan bisa menutupi banyak kelebihan. Itulah fakta yang kita saksikan dalam kehidupan kita sehari-hari juga bukan?

Dengan demikian, fakta tentang ular inipun menjadi pelajaran soal pentingnya menjaga reputasi kita. Setiap kata, ucapan, perilaku hingga apa yang kita tuliskan, bisa merusak reputasi yang sudah kita bangun bertahun-tahun. Tahun lalu, kita belajar misalnya dari ‘kicauan’ salah satu politikus dan ahli hukum yang kemudian harus diralatnya kembali. Meskipun disertai permintaan maaf dan pernyataan bahwa hal tersebut ‘tidak disengaja dan tidak dimaksudkan untuk menghina’ tetapi, sebuah reputasinya telah dipertaruhkan hanya lewat beberapa kalimat yang dituliskan.

Semoga pembelajaran terakhir di filosofi ular kali ini mengajarkan kepada kita soal pentingnya menjaga reputasi sepanjang tahun ini. Harta yang lenyap bisa dicari, rumah yang hilang bisa dibeli, tetapi reputasi yang jatuh sulit untuk dikembalikan. Itulah pembelajaran yang bisa kita petik di tahun ular ini.

-Anthony Dio Martin~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar