Tahun 2013 ini, dirayakan sebagai tahun
ular. Berbeda dengan peradaban barat yang cenderung melihat ular sebagai
mahkluk dengan pandangan yang negatif, dalam penanggalan Timur khususnya di China,
ular dipandang sebagai sisi feminim dari makhluk yang mirip tetapi lebih
maskulin yakni naga. Karena itulah, dalam pandangan Timur ini, ular lebih
diartikan sebagai perwujudan dari sifat-sifat ketenangan, kehati-hatian serta
penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.
Namun, meski
budaya tersebut melihat soal ular dari sisi yang lebih netral, bagaimanapun
sulit kiranya melepaskan dari persepsi yang buruk soal ular. Ular seringkali
digambarkan sebagai sosok yang menakutkan, licik serta penuh tipu muslihat.
Bicara ular, rasanya tidak bisa kita lepaskan dari kisah Adam dan Hawa yang
akhirnya berdosa, gara-gara seekor ular. Namun, kali ini, kita tidak akan
mencoba melihat dari sisi negatifnya, tetapi, bagaimana melihat sisi “netral”
binatang ini serta mengambil pembelajaran ular bagi motivasi kehidupan kita.
Belajar
Filosofi Ular
Saya pernah
menyaksikan kisah ular yang menarik di acara Animal Planet. Salah satu yang
paling menarik adalah melihat bagaimana kisah ular besar disekitar wilayah
gurun bersemak-semak di pegunungan di Amerika Latin.
Dikisahkan
bagaimana ular-ular yang bertumbuh akhirnya akan mengalami masa pelepasan
kulitnya beberapa kali. Berbeda dengan mahkluk yang punya tangan yang mungkin
bisa mencopot bajunya, ular tidak bisa melakukannya. Karena itulah, hal paling
menderita yang dilakukannya adalah membuat dirinya melewati semak-semak berduri
dan membiarkan durinya menusuk tubuhnya lantas menarik lapisan kulit lamanya.
Tak jarang, yang lepas bukan hanya kulitnya saja, tetapi sebagian tubuhnya pun
terluka penuh baret karena duri-duri tajam tersebut. Dan hal ini berulang kali
dilakukannya, hingga akhirnya kulitnya lepas sama sekali.
Dari sinilah
saya melihat bahwa ada pelajaran kehidupan yang sebenarnya bisa kita petik.
Pertama-tama adalah soal melepaskan kulit lama kita. Kadang-kadang kita
terjebak dengan posisi, situasi ataupun kebiasaan lama. Akibatnya, sangatlah
sulit bagi kita untuk melepaskannya serta keluar dari kondisi tersebut.
Misalkan saja, ketika seorang karyawan memutuskan untuk menjadi seorang
pebisnis. Ataupun, katakanlah yang lebih mudah yakni ketika seseorang yang
lajang memutuskan ‘ganti kulit’ menjadi berstatus menikah. Semuanya tidak
gampang, dan dibutuhkan keberanian serta pengorbanan untuk mengganti
kulit itu. Karena itulah, mirip dengan kondisi tersebut, maka ularpun
‘mencemplungkan’ dirinya agar proses pergantian kulit itu terjadi. Dan
disitulah proses rasa sakitnya dimulai. Seperti itu pula saat kita memasuki
sesuatu yang baru, fase baru, situasi baru ataupun kebiasaan baru. Ada rasa
tidak menyenangkan, rasa sakit, benturan dan gesekan, tetapi semuanya
dibutuhkan sebagai bagian dari proses pendewasaan kita menjadi yang baru.
Karena itulah,
dari pembelajaran filosofi yang pertama ini, janganlah melihat halangan serta
rintangan sebagai sesuatu yang membuat kita frustrasi. Mirip seperti ular dalam
contoh kita yang nekat melewati semak berduri itu, seharusnya semangat itu
menjadi bagian dari kehidupan kita. Masalahnya, di ujung sebelah sana, setelah
melewati semak berduri tersebut, si ular tahu bahwa ia akan memiliki kulit yang
baru. Dan betul juga kan dalam kehidupan kita? Setelah melewati berbagai
kesulitan bertubi-tubi dan tantangan, kitapun menjadi manusia baru yang ototnya
jauh lebih kuat.
Pembelajaran
terpenting kedua yang bisa dipetik dari ular adalah soal gerakannya. Dengan
gambaran yang sangat saintifik, di acara Aminal Planet tersebut, saya melihat
bagaimana proses yang memungkinkan ular yang tanpa kaki itu bergerak. Mungkin
seperti yang Anda duga, ular bergerak dengan dua proses penting, merilekskan
lantas mengkontraksikan (menegangkan) ototnya. Ternyata, gerakan inilah yang
memungkinkan ular bergerak maju. Nah, saya rasa filofosi itu pula yang perlu
menjadi pembejaran dalam kehidupan kita, untuk maju! Rileks melulu, terlalu
santai, tidak membuat kita maju kemana-mana. Tetapi, teralalu tegang dan
stresspun tidak membuat kita bergerak. Kemajuan terjadi akibat prpaduan antara
rileks dan stress yang sehat (orang menyebutnya ‘eustress’).
Cobalah
perhatikan orang yang terlalu santai dalam hidupnya, tanpa goal yang jelas dan
tidak punya ambisi sama sekali. Akhirnya, kita melihat orang seperti ini tidak
mengalami kemajuan yang berarti. Begitu pula, hal yang sama kita perhatikan
pada orang yang terlalu bekerja keras tanpa punya kesempatan berisitirahat.
Akhirnya kitapun sering melihat orang itu berada pada posisi yang itu-itu saja,
kerja sangat keras tetapi tidak punya kemajuan oleh karena kerjaaanya adalah
sebuah kerjaan rutinitas. Mereka tidak sempat lagi rileks untuk memikirkan:
apakah yang saya lakukan selama ini efektif? Bisakah cara ini dibuat lebih
baik? Bagaimana membuat kemjuan yang lebih berarti? Mereka tidak sempat lagi
memikirkannya karena terjebak dalm kesibukan mereka. Demikianlah, gerakan ular
ini emberikan kita inpsirasi bahwa kemajuan hanya terjadi ketika kita sanggup
memadukan rileks dan stress kita.
Dan akhirnya,
pembelajaran utama teakhir yang bisa diperoleh dari ular adalah soal
reputasinya. Kalau kita baca dan lihat di TV, ternyata banyak fakta menarik
tentang ular yang tidak kita ketahuai. Kebanyakan, ular terkait dengan
reputasinya yang buruk. Padahal, diketahui ada sekitar 3000 jenis ular dan
hanya 375 ular yang berbisa, jadi hanya sekitar 10% spesies ular yang
betul-betul berbahaya. Tetapi, pada kebanyakan kita persepsi yang muncul adalah
seakan-akan semua ular itu berbisa, atau lebih banyak berbisanya daripada yang
tidak berbisa. Selain itu, diketahui bahwa ular adalah mahkluk yang penakut dan
pendiam selama tidak diganggu. Lalu, faktanya dalam setahun lebih banyak orang
yang mati karena gigitan lebah daripada karena digigit ular. Nah, mengapa
berbagai persepsi ini muncul? Alasannya sederhana sekali sebuah reputasi yang
jahat, lebih cepat tersebar daripada reputasi yang baik. Lagipula, suatu
kesalahan bisa menutupi banyak kelebihan. Itulah fakta yang kita saksikan dalam
kehidupan kita sehari-hari juga bukan?
Dengan
demikian, fakta tentang ular inipun menjadi pelajaran soal pentingnya menjaga
reputasi kita. Setiap kata, ucapan, perilaku hingga apa yang kita tuliskan,
bisa merusak reputasi yang sudah kita bangun bertahun-tahun. Tahun lalu, kita
belajar misalnya dari ‘kicauan’ salah satu politikus dan ahli hukum yang
kemudian harus diralatnya kembali. Meskipun disertai permintaan maaf dan pernyataan
bahwa hal tersebut ‘tidak disengaja dan tidak dimaksudkan untuk menghina’
tetapi, sebuah reputasinya telah dipertaruhkan hanya lewat beberapa kalimat
yang dituliskan.
Semoga
pembelajaran terakhir di filosofi ular kali ini mengajarkan kepada kita soal
pentingnya menjaga reputasi sepanjang tahun ini. Harta yang lenyap bisa dicari,
rumah yang hilang bisa dibeli, tetapi reputasi yang jatuh sulit untuk
dikembalikan. Itulah pembelajaran yang bisa kita petik di tahun ular ini.
-Anthony Dio Martin~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar