Selasa, 05 Maret 2013

Insight

Kamu Telah Membunuh Istrimu!

murder_scene1“Saya harus akhiri semua ini.” Celetuk teman saya pada suatu pagi.
“Kabar bagus nih.” Ucap saya dalam hati. Saya berasumsi bahwa dia harus mengakhiri hubungan perselingkuhan dia dengan seorang wanita.
“Ada apa?” Saya memutuskan untuk bertanya, dengan suara yang saya buat terdengar sebijak mungkin.
“Istri saya.”
“Kok tentang istrinya..?” Tanya saya dalam hati.
“Saya harus menceraikannya.” Katanya yakin.
“…” Tiba-tiba saya mengalami kebingungan sesaat.

Saya tahu teman saya ini berselingkuh dan saya berkali-kali mencoba menasihati agar dia kembali ke keluarganya. Sekarang malah dia akan mengakhiri rumah tangga dengan istrinya.
“Saya tidak bisa lagi melanjutkan rumah tangga ini. Istri saya bukan lagi wanita yang dulu saya kenal. Saya bosan dan capek dengannya.” Dia mencoba menjelaskan alasannya.
“Bukan lagi wanita yang dulu saya kenal? Maksudmu?” Sekarang saya bertanya dengan nada yang asli serius.
“Dia selalu tampak bodoh, tidak berinisiatif dan selalu ada kesalahan yang dia buat.. tiap hari. Dulu saya jatuh cinta karena dia selalu tampil percaya diri dan kelihatan pintar. Dia bukan orang yang dulu saya kenal.”
“Ya. Karena kamu telah membunuhnya!” Kata saya dalam hati.
Bagaimana Anda Memandang Suatu Kesalahan?
Apakah Anda bisa mengingat suatu kejadian dimana Anda melakukan suatu kesalahan dan mendapat suatu masalah karenanya? Kemudian, apakah Anda juga ingat bahwa Anda sadar tentang kesalahan itu tetapi tetap merasa sakit hati atas respon yang diberikan orang lain (Boss, kakak, orang tua, pasangan, atau rekan Anda) itu kepada Anda? Apakah Anda sadar bahwa sekarangpun Anda masih bisa merasakan ‘sakit’ yang Anda pendam akibat dari kejadian itu?
Sekarang, apakah Anda pernah menimbulkan ‘sakit’ serupa pada orang lain?
Kesalahan adalah bagian dari hidup kita sebagai manusia. Bahkan kesalahan adalah bagian dari kesempurnaan kita sebagai manusia. Sistem kerja kemanusiaan kita bekerja dengan sangat luar biasa dan memungkinkan kita melakukan banyak hal termasuk berbuat kesalahan. Binatang tidak pernah berbuat salah karena sistem mereka adalah sistem ‘satu arah’. Mereka hanya melakukan sesuatu bila memang ‘saatnya’ tiba dan pola-polanya bisa ditebak serta dipelajari dengan mudah.
Semua manusia sama. Dari waktu ke waktu kita melakukan suatu bentuk kesalahan, entah itu dalam ukuran yang kecil atau besar. Menyadari hal itu sudah seharusnya kita mampu menerima kesalahan sebagai suatu hal yang manusiawi. Itu harus menjadi landasan.
Kemudian, sistem kemanusiaan kita juga memungkinkan kita untuk belajar memperbaiki diri. Dari kecil kita terus belajar, mulai dari belajar berbicara, berjalan dan sampai saat ini tak terhitung hal-hal yang telah kita pelajari. Kita mahluk pembelajar. Itu harus menjadi landasan berikutnya.
Kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi dan manusia adalah mahluk pembelajar hendaknya membawa kita pada suatu pemahaman bahwa manusia mampu memperbaiki diri. Manusia mampu menganalisa apapun yang telah dilakukan dan di alami untuk kemudian memperbaiki diri agar mampu melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi sekaligua mengalami sesuatu yang lebih baik dalam hidupnya.
Mengambil tindakan yang menunjukkan bahwa memberikan kesempatan dan mempercayai bahwa orang lain akan mampu memperbaiki diri adalah hal yang harus kita lakukan bila kita menemukan orang lain melakukan suatu kesalahan. Itu adalah cara yang manusiawi dalam melihat suatu kesalahan.
Di sekeliling kita sering terjadi hal-hal yang kurang manusiawi berkenaan dengan cara seseorang memandang kesalahan. Banyak sekali contohnya:
“Kamu memang biang masalah!” Kata Boss kepada anak buahnya.
“Kamu itu selalu salah. Gak pernah ngerjain sesuatu dengan bener. Selalu kaya gitu.” Kata teman saya tadi pada sang istri.
“Awas ya kalau kamu gitu lagi. Kamu selalu membuat malu orang tua!” Kata seorang ayah kepada anaknya.
Apakah cara Anda selama ini sudah cukup manusiawi dalam memandang kesalahan?
Bagaimana Manusia Berubah
Mengapa cara-cara merespon kesalahan yang kurang manusiawi, seperti pada beberapa contoh di atas, kurang efektif bahkan cenderung membawa dampak yang tidak kita inginkan?
Penjelasan pertama adalah bahwa otak kita tersusun atas milyaran cabang yang terhubung satu sama lain membentuk suatu jaringan yang, selanjutnya, mengontrol pikiran, perasaan, dan tindakan (thoughts, feelings, actions) kita. Satu kejadian akan merangsang tumbuhnya satu cabang. Perulangan kejadian yang sama akan memperkuat cabang. Sementara hal-hal yang berhenti dirangsang akan menyebabkan cabang-cabang yang sudah terbentuk menjadi rapuh.
Ketika seorang suami berkata, “Kamu itu selalu salah. Gak pernah ngerjain sesuatu dengan bener. Selalu kaya gitu” apa yang terekam si istri adalah ‘selalu salah’, ‘gak pernah bener’ dan ‘selalu kaya gitu’ (salah terus). Dari hari ke hari, tiap kali si suami mengatakan ucapan semacam itu, saat itu juga rekaman diulang, diperjelas, dan membentuk cabang dalam otak. Lama kelamaan cabang-cabang baru menjadi kuat dan membentuk identitas baru dalam diri si istri bahwa dia selalu salah, selalu nggak bener dan akan selalu seperti itu. Identitas itu akan selalu muncul sebagai tindakan mana kala ada pemicunya, dalam hal ini pemicunya adalah melakukan sesuatu untuk suaminya. Setelah sekian waktu si suami akan mendapati bahwa istrinya sudah berubah. Tanpa sadar dia telah berperan aktif dalam merapuhkan cabang-cabang otak si istri yang berisi informasi bahwa dia pintar, cerdas, confidence dan lainnya yang membuat sang suami jatuh cinta. Tanpa sadar dia sendiri yang telah ‘membunuh’ (personaliti) istrinya yang dahulu.
Seorang pimpinan mungkin saja melakukan beberapa ‘pembunuhan’ sehingga anak buah yang dulu baik dan mampu bekerja sesuai standar sekarang menjadi seorang yang lain, seorang pemberontak, trouble maker, biang kerok, dan lainnya. Tanpa sadar setiap kali memberikan feedback kepada anak buah cara yang ditempuhnya kurang bisa diterima oleh si anak buah sehingga menimbulkan sakit hati, resistensi, yang berujung pada perubahan personaliti. Surat warning yang diberikan secara keliru, makian, nasihat yang berlebihan dan kurang proporsional pada akhirnya ‘membunuh’ (personaliti) anak buah dan merubahnya menjadi sosok yang justru dibenci oleh sang atasan.
Penjelasan kedua adalah dengan mengacu pada penelitian oleh Alan Deutschman yang diulas dalam bukunya Change or Die.
Seberapa sering Anda mendengar retorika ‘change or die’ yang memang terdengar keren? Apakah retorika itu berhasil? Kalau ukuran berhasil adalah gegap gempita yang ditimbulkan setelah seorang pemimpin meneriakkan “change or die” jawabnaya adalah: berhasil. Kalau ukurannya adalah perubahan yang terjadi setelah retorika itu, pada kebanyakan kasus dan sebagian besar perusahaan atau bahkan korporasi yang ada saat ini, jawabannya adalah nihil alias tidak berhasil. Kenapa retorika yang demikian dahsyat kebanyakan gagal?
Dalam buku Change or Die Alan Deutschman menemukan bahwa 90% penderita sakit jantung yang sudah mengalami operasi bypass tidak mau merubah pola hidupnya bahkan setelah dokter menyatakan bahwa pilihan dia adalah berubah atau mati. 90% masih tetap mengkonsumsi makanan berlemak dan kolesterol tinggi, masih merokok, dan masih enggan berolah raga. Bahkan 90% mulai cuek terhadap obat yang diberikan dokter beberapa saat setelah sakit yang mereka rasakan mulai hilang. 9 dari 10 pasien jantung itu tetap menjalani pola hidup yang sama padahal mereka telah mendengar penjelasan tentang fakta-fakta apa saja yang bisa ditimbulkan oleh makanan berlemak, rokok, dan kurang olah raga. Padahal mereka juga telah telah ditakut-takuti apabila mereka tetap seperti itu malaikat maut akan segera menjemput. Padahal mereka sudah sering dipaksa untuk menjalani pola hidup yang lebih sehat oleh keluarga mereka. Mengapa mereka belum berubah?
Karena memberikan fakta (fact), menakut-nakuti (fear), dan memaksa (force) alias 3F yang dikenal oleh gaya manajemen lama memang sebenarnya tidak pernah efektif. Kalau 3F efektif itu hanya sebatas kulit, sebatas obedience atau kepatuhan kosong. 3F efektif manakala orang diawasi, bos harus selalu melotot selama jam kerja, polisi harus selalu waspada 24 jam di jalan, orang tua harus selalu menguntit anaknya, dan lain sebagainya. Intinya perubahan melalui 3F tidak kekal. Ini yang juga jarang diketahui oleh para trainer sekalipun.
3F berasal dari budaya yang mendewakan kognitif, budaya yang mendewakan angka-angka (jadi ingat anak-anak kita di sekolah…). Kebanyakan pemimpin merasa bahwa semua hal harus logis dan rasional. Hampir semua pemimpin berpendapat bahwa segala sesuatu yang logis dan rasional pasti berjalan dengan baik. Sementara kebanyakan pemimpin lupa bahwa sebenarnya uang yang dihasilkan oleh mereka di dapat dari kesetiaan konsumen atau pelanggan. Sementara kesetiaan konsumen tersebut sering kali merupakan hal yang non-rasional atau non logis. Kemudian produk atau jasa yang dinikmati oleh para pelanggan itu dihasilkan oleh manusia, sementara produktifitas dan efektifitas manusia bukan dipengaruhi oleh keadaan rasional atau logis tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan emosionalnya.
Penyajian informasi dan fakta serta menambahkan kekuatan dosisnya dengan ancaman plus paksaan pada kenyataannya tidak efektif. Itulah sebabnya banyak perusahaan yang sampai saat ini menjalankan banyak program dengan hasil yang senantiasa sama, bahkan cenderung membuat karyawan mereka berkomentar pesimis, “Ada apa lagi sekarang?” Perubahan hanya bisa dimungkinkan bila kita dengan tulus menawarkan hubungan emosional yang membuat orang lain merasa nyaman dengan diri mereka sekaligus nyaman dengan hubungan mereka bersama kita sehingga mereka melihat adanya harapan (hope).
Bukan suatu rencana atau strategi yang lebih logis dan rasional yang dibutuhkan untuk suatu perubahan. Seperti kata Alan Deutschman, “Apa yang kita perlukan untuk berubah adalah seseorang yang bisa memberi kita kepercayaan dan harapan bahwa kita bisa berubah. Ini seperti keyakinan yang kuat bahwa kita bisa berubah. Itu dimungkinkan dengan adanya hubungan yang lebih tulus dan inspirasi yang terus menerus dari mereka yang dengan ikhlas mempercayai kita. Ini adalah sesuatu yang dikomunikasikan pada tingkat emosional.” Jelasnya, kunci dari perubahan adalah adanya hubungan yang lebih tulus dan membuat orang lain merasa nyaman serta aman.
Alan Deutschman membuat formulasi 3R untuk perubahan yang dimulai dengan hubungan yang lebih tulus dan membuat orang lain merasa nyaman serta aman ini. 3R itu adalah relate (berhubungan), repeat (mengulangi), dan reframe (membingkai ulang). Artinya untuk berubah harus dimulai dengan hubungan yang tulus tadi. Hubungan yang tulus itu harus terus menerus berulang sehingga orang bisa mempunyai bingkai baru dalam benaknya bahwa, “Ya. Saya bisa berubah.”
Secara praktis, kembali kepada konsep kemanusiaan (H.U.M.A.N Technology), ketika seseorang melakukan kesalahan maka kita harus menerima itu sebagai hal yang manusiawi. Bila kita ingin orang tersebut berubah yang harus kita tawarkan adalah, sekali lagi, hubungan yang lebih tulus dan membuat orang lain merasa nyaman serta aman. Mari kita ambil contoh kasus suami istri di atas.
Ketika sang istri semisal membuatkan sang suami segelas kopi dan menurut si suami racikan tersebut tidak pas maka yang bisa dilakukuan suami pertama kali adalah, “Terima kasih kopinya ya.” Berterima kasih atas usaha sang istri dengan tulus. Kemudian ketika situasi memungkinkan bisa diikuti dengan, “Ma, papa ini jagoan bikin kopi. Papa yakin kalau resep ini papa bagi ke mama pasti mama bisa membuat racikan kopi juara.” Bila itu sudah dilakukan dan si suami menyukai hasilnya, hukumnya wajib bagi si suami untuk memuji si istri (bukan memuji resep rahasianya) dan bisa ditingkatkan dosisnya dengan memuji si istri di depan orang tua, mertua, atau teman yang lain. Ingat relate, repeat dan reframe.
Kembali Pada Kemanusiaan, H.U.M.A.N TechnologyTM
Entah berapa banyak anak buah yang sudah kita ‘bunuh’ sehingga bangkit menjadi zombie yang keras kepala, sulit diatur, pemalas, dan lainnya, entah kapan kita ‘membunuh’ anak kita yang dulu adalah anak yang terbuka, jujur, dan bekerja sama, tidak tahu bagaimana kita mulai ‘membunuh’ pasangan kita sehingga sekarang mereka menjelma menjadi orang yang kurang kita kenali serta selalu kita keluhkan. Tidak terlalu penting mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Saat ini sebaiknya kita berkonsentrasi untuk menghidupkan kembali anak buah kita, anak kita, atau pasangan kita menjadi sosok yang kita damba. Itu semua bisa kita lakukan dengan kembali pada kemanusiaan kita.
H.U.M.A.N TechnologyTM dilahirkan berlandaskan pada kepercayaan bahwa manusia telah dibekali perangkat-perangkat hebat untuk mampu mewujudkan dunia yang ideal. Perangkat-perangkat tesebut adalah rasa (feelings), pikiran (thoughts) dan tindakan (actions). Ketiga hal tersebut harus senantiasa selaraskan di dalam setiap upaya kita.
Dalam kaitannya dengan mencoba merubah orang dengan cara-cara ‘biasa’ seperti menghukum orang dengan kata-kata kita, melepaskan amarah kita, dan lain sebagainya, itu semua pasti bertentangan dengan kemanusiaan bila kita ukur dengan rasa, pikiran, dan tindakan tadi. Sebagai contoh setelah kita menumpahkan amarah kita atau berkata-kata dengan pernyataan yang menyakitkan hati pada naka buah, anak, atau istri kita, pasti itu semua meninggalkan perasaan yang tidak enak di dalam dada kita. Itu adalah pertanda ada yang kurang tepat dari tindakan kita. Kemudian kalau kita benar-benar mau menganalisa dengan pikiran kita apakah tindakan kita tadi akan menghasilkan suatu perubahan yang esensial dan signifikan, pasti jawabannya adalah tidak. Nah, segala sesuatu yang tidak manusiawi (baca: tidak enak di perasaan, analisa positif tidak mendukung, dan jauh dari standar tindakan positif) pasti tidak akan berhasil bila diterapkan kepada manusia.
Cara 3R, relate, repeat, dan reframe yang diusung oleh Alan Deutschman terbukti manusiawi. Banyak hasil positif yang telah didapatkan dari cara ini (baca Change or Die) maka cara semacam inilah yang seharusnya mulai sekarang kita pilih di dalam setiap upaya kita untuk menuju pada suatu keadaan yang lebih baik, di dalam bisnis kita, di lingkungan sosial kita, atau di dalam rumah tangga kita. Penulis tidak akan berkata proses 3R akan mudah. Yang jelas cara ini sangat efektif dan penulis yakin dengan kemanusiaan yang kita punyai, kita pasti bisa mempraktekkan 3R ini.
Mari kita hentikan ‘pembunuhan-pembunuhan’ yang selama ini kita lakukan. Mari kita mulai lagi perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dengan cara yang lebih manusiawi. Let’s relate, repeat, and reframe.

disadur dari tulisan 
thehumantechnology.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar